"Kau tak bisa tidur?" kata Wonwoo merapatkan tubuhnya mendekat kearahku, mataku tak bisa lepas dari mata coklat indahnya, terlalu indah untuk sedetik beralih. Aku mengangguk. Wonwoo tiba-tiba membawa kepalaku ke dada bidangnya, tangan kirinya membelai rambut halusku. Tangan kanannya merengkuhku dari depan. Seketika hawa dingin disekitarku lenyap, digantikan hangatnya hatiku yang disirami perlakuan manis nan lembut dari Wonwoo.

Dia menciumi puncak kepalaku, menghirupnya dalam-dalam, matanya terpejam. "Wangi," katanya. Aku tersenyum. Telinga kananku tepat di dadanya. Dapat kudengar detak jantungnya yang tak beraturan, menandakan dia gugup. "Tidurlah, Sayang."

Aku hanya mengangguk, mencoba memejamkan mataku. Tertidur dengan kehangatan rengkuhan Wonwoo, diiringi degup jantung Wonwoo. Menunggu mentari menyinari esok pagi kami.

"Terus mau apa?" kata Seungcheol tajam. Membuatku terbangun dari lamunan singkatku. Oh astaga, aku tidak bersama Wonwoo sekarang tapi Seungcheol. Kembali ke realitaku sebagai istri yang biasa saja. Aku menghela nafas. Tak mungkin Seungcheol berlaku seperti Wonwoo, karena dia tak mencintaiku. Hanya Wonwoo yang mencintaiku dan aku hanya mencintainya.

"Ya sudah kita tidur saja," kataku langsung terbaring menarik selimut. Miring membelakangi Seungcheol. Aku dengar lelaki itu bergumam karena kelakuanku. Percuma, aku berusaha manja semanja apapun dia tak akan memerlakukanku seperti Wonwoo, karena pada dasarnya memang tak ada yang bisa menandingi Wonwoo.

Aku berusaha memejamkan mataku, sesulit apapun. Aku harus tertidur. Hingga kegelapan menelanku dalam lelap. Membawaku terbuai dengan alam mimpi. Membiarkanku sejenak untuk istirahat.

---


Sebuah cahaya menyeruak masuk kekamar kami, aku membuka mata karena silau. Mataku menyipit mandapati tirai sudah terbuka menampilkan megahnya menara Eiffel pagi hari, dengan embun lembut masih menempel di kaca jendela kami. Aku menoleh, tak ada Seungcheol disana. Dimana lelaki itu, selalu saja ilang-ilangan.

Aku memutuskan untuk bangun, menuju kamar mandi untuk segera mencuci wajah, dan mandi. Selang beberapa menit aku sudah selesai. Dengan ripped jeans warna biru muda kupadankan dengan sweater rajut kebesaran warna merah maroon. Pagi itu kota Paris dingin, memang tidak terlalu dingin. Aku suka hawa seperti ini. Rambut hitam kecoklatanku aku gelung asal mengenakan jepit rambut. Aku lapar. Aku memutuskan untuk turun dan makan di restoran yang ada dibawah tanpa mempedulikan sosok Seungcheol yang telah hilang dipagi ini.

Langkahku gontai menuju elevator. Menekan tombol turun untuk menuju restoran. Pintu terbuka, seseorang menyambutku dengan senyum terindahnya. "Selamat pagi, Nona Yoon."

Aku tersentak, lelaki yang aku temui tadi malam menyapaku. Bertemu di elevator dengan pakaian santainya, terlihat tampan namun gagah. Jeans warna coklat muda tersemat di kakinya hingga lutut, beserta kaos polos berwarna putih memperlihatkan lelaki itu kuat. Ditambah kacamata yang menambah ketampanan nya. Aku tersadar. "Oh selamat pagi, Tuan Hong."

Aku melangkah masuk ke elevator yang hampir tertutup jika tidak ditahan oleh tangan Jisoo. "Kau mau kemana?" tanyanya tersenyum sangat manis. Aku membalasnya dengan senyuman semanis gula.

"Mau sarapan," jawabku singkat namun lembut. Dalam elevator ini hanya kami berdua, hawa dingin kembali menusuk badanku. Dindingnya yang stainless tampak berembun karena dingin. Aku mengetuk lantai elevator dengan kakiku karena bosan. Selama beberapa saat kami terdiam, Jisoo sibuk dengan gadgetnya, sepertinya dia sangat sibuk.

"Mau sarapan bersama?"

Aku menoleh kearahnya. "Boleh." Aku tersenyum semanis mungkin. Dia tersenyum kearahku lebih manis. Sungguh tampan lelaki ini. Wajahnya bersih, hanya sedikit bekas luka karena tadi malam. "Bagaimana keadaanmu?"

"Lebih baik karenamu."

"Eh?" Aku tersentak. Apa maksudnya karenaku? Jika dia lebih baik karena kutolong kemaren malam memang cukup untuknya berterima kasih. Tapi itu tugasku sebagai bagian dari tenaga kesehatan, tak akan cukup terima kasih kepadaku. "Sudah tugasku sebagai tenaga kesehatan untuk menolong siapa pun."

"Tapi tetap saja itu karena kau cepat menolongku."

Aku terkekeh pelan. Perjalanan selama beberapa menit itu terkesan asik. Aku dan Jisoo saling bercakap tentang keadaan Jisoo dan pekerjaanku sebagai seorang terapis. Beberapa menit itu pula tak ada masalah serius hingga suara 'ting' terdengar lembut. Menandakan bahwa tujuan kami sudah didepan mata.

Pintu elevator terbuka perlahan. Mataku langsung melihat kedepan usai menatap Jisoo dan tertawa kepadanya. Betapa terkejutnya aku. Mataku terbelalak menemukan apa
yang menyambut kami di lantai dasar. Sepasang lelaki dan wanita yang terlihat serasi. Lelaki itu ...

"Seungcheol."

"Junghwa."

Soft Of VoiceWhere stories live. Discover now