Side : 16

942 58 7
                                    


I'll try to forget it.
- Chelsea, 19:02

°°°

Kenyataannya, seorang Chelsea dapat memboyong sebuah piala hasil kerja kerasnya sendiri. Bahkan tanpa adanya seorang partner yang--seharusnya-- berdiri disana untuk membantunya.

Tak tanggung-tanggung, Chelsea menyabet juara dua dalam olimpiade matematika yang diikutinya kemarin. Sebuah kebanggaan tersendiri pastinya. Dan bahkan, orang tuanya pun sudah mengiming-imingi hadiah untuknya.

Tak sedikit temannya yang silih berganti mengucapkan selamat atas kemenangannya kemarin. Mau tak mau, sisi lain terdahulu Chelsea muncul kembali. Membalas satu persatu ucapan teman-temannya sembari tak hentinya menyunggingkan sebuah senyum, meski tipis namun itu adalah sebuah kemajuan yang berarti, bukan?

"Selamat cintaku, sayangku! Lo hebat banget pokoknya. Tambah sayang, deh," pekikan suara Marsha menggema di sepanjang koridor, menyentak kesibukan Chelsea dalam kegembiraannya.

Detik berikutnya, Marsha sudah menerjang tubuh Chelsea dengan sebuah pelukan erat. Hingga membuat sesak dalam diri Chelsea. Mau tak mau, Chelsea harus menepuk keras punggung Marsha atau bisa juga menarik rambut hitam Marsha agar segera menjauh dari dirinya.

"Alay, lo!" Cerca Chelsea setelah pelukan diantara mereka terlepas.

"Gue nggak alay, tapi lebay."

"Terserah lo, deh."

Tanpa mau mendengarkan apa yang akan dikatakan sahabatnya itu lagi, Chelsea memilih untuk segera berlalu dan melangkah menuju ruang Pak Udin yang mana ia telah membuat janji untuk menyambangi ruangan pria paruh baya tersebut.

"Eh, eh. Lo mau kemana?" Marsha tampak mengimbangi langkah lebar Chelsea.

"Ketemu Pak Udin."

Baru beberapa meter berjalan meninggalkan Marsha, seseorang datang mengejutkannya dari arah berlawanan. Merasa terancam, Chelsea menambah laju berjalannya menuju tempat tujuan awalnya, berusaha berlari dari sosok yang paling ia hindari. Namun apa mau dikata, seseorang tersebut sudah lebih dulu mencegat langkahnya dan mencoba menarik dirinya untuk berhenti.

"Kenapa selalu menghindar?" Tanya orang tersebut dengan sinisme. Bahkan alisnya terangkat sebelah.

Tak berniat menjawab, Chelsea memilih bungkam. Menolak mati-matian untuk tidak menatap orang di depannya. Gadis itu benar-benar muak sepertinya.

"Kenapa lo selalu lari dari kenyataan?" Lanjut orang itu. Dan Chelsea masih enggan untuk membuka suara. Wajahnya begitu merah padam, antara menahan gejolak amarah dan gelisah. "Kenapa muka lo merah? Mau nangis, marah, atau mau lari lagi dari kenyataan?" Suara orang itu terdengar mengejek, bahkan dia menyelipkan kekehan kecil di akhir kalimat.

Tubuh Chelsea menegang begitu saja. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri lantaran telinganya terlalu sensitif untuk menerima segala yang laki-laki di hadapannya ucapkan.

"Berhenti membuat seolah-olah gue yang salah di sini. Berhenti buat ngingetin gue tentang kelakuan iblis lo! Dan berhenti ganggu kehidupan gue! Gue muak dengan semua yang ada di diri lo. "You more than loser, aren't you?" Sekarang ini, telunjuknya sudah mengacung manis tepat di depan wajah laki-laki tersebut.

"Gue tahu. Gue emang salah. Maka dari itu, gue mau minta maaf sama lo," Laki-laki itu, Danar. Mencoba menurunkan volume suaranya, dan berusaha menggapai lengan mungil milik Chelsea meski ia tahu itu akan ditepis begitu saja.

"Nggak semudah sama apa yang lo lakuin dulu, Nar."

Chelsea menggeleng, tubuhnya bisa saja merosot begitu saja jika kini tidak ada Marsha yang entah sejak kapan berdiri menopang tubuhnya. Chelsea menatap nanar kearah Marsha, dan dibalas dengan genggaman kuat yang diberikan Marsha untuk mengalirkan kekuatan meski tak begitu nyatanya.

Other SideWhere stories live. Discover now