Side : 9

1.1K 66 10
                                    


Tidak sedikitpun waktu untuk dapat membenahi semuanya. Tidak, jika semua rasa yang dulu, belum sepenuhnya terlupakan.

•••

Hari ini, Sabtu. Dan sepagi ini,gumpalan awan hitam sudah terlihat menggantung memenuhi langit di atas sana. Beberapa hari ini intensitas hujan kian naik dengan debit air yang bisa dikatakan lebih besar dari tahun lalu.

Chelsea menghela napasnya perlahan sebelum akhirnya keluar dari mobil sang Papa. Tangannya melambai, tanda perpisahan pada pria paruh baya itu. Dan kemudian berjalan menyusuri koridor yang tampak sudah ramai dengan keributan yang dibuat oleh beberapa siswa. Gadis itu terlihat acuh terhadap sekelilingnya, membuat beberapa orang yang mengenal baik dirinya agak segan jika berpapasan.

Setelah berapa ratus meter berjalan, akhirnya Chelsea sampai di kelas. Menyimpan tas punggung hitamnya ke dalam loker dan mulai mendudukan tubuhnya sembari meletakan kepalanya di atas meja. Mencoba memejamkan kelopak matanya untuk beberapa saat.

"Lo tahu nggak? Kabarnya bakal ada murid baru pindahan dari Athena." suara itu terdengar jelas di kedua telinga Chelsea.

"Hah? Apa? Antena?" suara lain terdengar memekik dan berhasil membuat para temannya berdecak kesal karena kebolotan gadis yang baru saja menimbrung.

Chelsea sendiri, memilih bertahan dengan kebisuannya. Mendengarkan apa yang selanjutnya para gosipers--julukan yang diberikannya pada tukang gosip-- bicarakan.

"Dia cowok atau cewek?"

"Cowok. Katanya sih ganteng, tajir, dan atlet basket."

"Oh my god! Gue nggak sabar lihat tuh cowok. Semoga aja dia sekelas sama kita."

"Yeah. Gue juga nggak sabar."

"By the way, lo tahu nggak namanya siapa?" tanya gadis bolot tadi.

"Eum ... Gue lupa nama lengkapnya. Tapi Marganya kalau nggak salah, Adrijaya."

What the hell?!

Kontan saja, kedua mata Chelsea terbuka lebar. Baru saja ia mendengar nama yang tak asing bagi dirinya mengingat telinganya masih terlalu sensitif untuk menerima rangsangan yang berbau masa lalu. Jujur, sekarang ia tidak tenang. Hatinya tengah bergelut melawan kekalutan yang tiba-tiba menohoknya. Entah apa itu, Chelsea tidak pandai untuk mendefinisikan.

Nggak mungkin dia. Batin Chelsea mengelak.

Untuk menenangkan pikiran dan hatinya, Chelsea berniat untuk keluar dari ruang yang --entah kenapa-- terasa minim oksigen itu. Baru sampai pintu kelas, ia dikejutkan dengan kehadiran Marsha dan Rafli yang baru saja datang.

"Mau kemana lo?" tanya Marsha menghadang langkah gadis itu.

"Cari angin," balas Chelsea lalu menegak salivanya tatkala sahabatnya itu tengah mencoba membaca pikirannya.

"Angin melulu yang dicari. Kapan cari pacarnya kalo gitu?" cibir Marsha dibalas kekehan dari Rafli.

"Udah ah, gue mau keluar. Minggir."

Buru-buru Chelsea melangkah tak tahu arah entah kemana. Pikirannya belum tenang, mencoba mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Mungkin sepertinya taman tidak terlalu buruk.

Sesampainya di taman yang terletak di belakang ruang seni, gadis itu lantas menghempaskan tubuhnya di bangku panjang yang tersedia.

Berkali-kali ia menghela napas berat. Mencoba membuang ketakutan dalam dirinya yang sangat menyesakkan dada. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal, bersiap meninju segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya.

Other SideWhere stories live. Discover now