Bab 11

2K 64 11
                                    

Mami mengetuk kamarku tiga kali. Aku tidak ingin menjawab sebenarnya, tapi rasanya tidak sopan mengabaikan mami yang tidak bersalah apa-apa. Maka dengan terpaksa, kutapakan kakiku ke atas lantai keramik yang dingin dan berjalan ke arah pintu. Kubuka pintu itu dan aku kembali kabur ke atas ranjang.

"Anak mami kok masih tiduran? Ini udah hampir magrib, mandi sana gih."

"Malas ah, mi."

Mami duduk di kepala tempat tidur. Secara otomatis, aku menaruh kepalaku di paha mami. Telapak tangan mami hinggap mengusap rambutku, menyingkirkan poni dari alisku. Selama aku mengenakan jilbab, aku hampir tidak menyadari kalau poni yang dulu aku potong pendek, sudah panjang menutupi mataku. Tangan mami bergerak sesuai ritme, kadang berhenti sebentar lalu di usapnya kembali.

"Mau cerita sama mami, ada apa?"

Tidak perlu aku tanya, kenapa mami bisa tahu kenapa aku begitu cemberut ketika pulang. Namanya juga mami, insting dasar para ibu untuk mendekteksi sesuatu yang tidak benar pada anaknya. Aku rasa semua ibu seperti itu. Bukan hanya mami.

"Biasalah mi, bertengkar dengan teman."

"Apa masalahnya besar?"

Aku merenung. Mataku menerawang menatap langit-langit yang sudah kutempeli poster idol kpop sampai band westren kesayanganku, Maroon Five. Clara menentang keras susunan poster yang aku letakan di langit-langit. Menentang bagaimana dua penyanyi beda benua, beda style dalam bermusik, di satukan di langit-langit kamar seorang gadis sepertiku. Maksudnya gadis yang ─kadang urakan sepertiku.

"Sebenarnya nggak sih, mi. Cuma Nisa terlalu kebawa emosi nanggapin candaan mereka." aku merengut, "menurut mami, Nisa salah?"

"Dalam persahabatan, apalagi seusia kamu, salah dan benar hanya beda tipis. Teman-temanmu menggodamu hingga kelewatan, mengisyaratkan bahwa kamu adalah teman asik buat di ajak becanda. Salahnya, mereka tidak tahu bahwa kamu punya batas-batas kesabaran layaknya gadis pada umumnya. Jadi yah, menurut mami, untuk apa marah-marah hingga mengurung diri di kamar karena kamu sedang mengalami fase persahabatan yang indah?"

"Ah mami tidak ada di sana, sampai mengatakan becandaan mereka indah."

"Tapi mami sudah pernah merasakan kesepian kehilangan sahabat-sahabat mami. Dan mami rela menukar separuh waktu mami untuk bisa bersama mereka lagi, bahkan untuk mendengar lelucon yang paling menyebalkan, bahkan kurang ajar sekalipun."

Aku tahu mami membicarakan dirinya sendiri. Mami harus meninggalkan kakek dan nenek, serta teman-teman mami di Kalimantan untuk mengikuti papi yang bertugas di Aceh. Aku memang tidak akan bisa memahami bagaimana perasaan mami yang harus memulai kehidupan dari awal di kota baru. Tapi aku bersyukur, aku lahir dan besar di Aceh dan masih bisa bertemu dengan teman-temanku.

Kalian tahu, meksi aku begitu dekat dengan mami, ada rahasia-rahasia yang tidak bisa aku ceritakan padanya. Karena sebagian orang dewasa tidak mampu memahami rahasia sejenis itu. Aku pun tidak ingin mencoba peruntungan dengan mengetes mami dengan membocorkan sedikit rahasiaku.

"Kalau gitu, mami akan biarkan kamu untuk merenunginya." Mami meletakan kepalaku di atas bantal dengan sangat lembut sekali. sekali lagi ia mengusap dahiku, "Jangan lupa mandi. Supaya lebih segar."

Aku mengangguk. Selepas mami menghilang dari balik pintu, dan suara langkah kakinya yang menjauh dari kamarku, aku melipat tanganku di kepala, mengalaskannya sebagai bantal.

Ingatan tentang tawa dan bagaimana aku bisa menjadi diriku sendiri bersamas ahabat-sahabatku membuat aku merasa malu atas sikapku yang berlebihan. Lama-lama aku memandangin langit-langit kamarku, serangan kantuk menyerangku begitu pelan dan lembut. Aku tidak tahu kapan aku memejamkan mata, tapi yang pasti aku lupa pesan mami untuk mandi sore.

***

Vote and Share jika suka cerita ini

Pacarku, Adik Kelasku [COMPLETED]Where stories live. Discover now