Bab 10

1.2K 47 4
                                    


Tawa bercampur tepuk tangan memeriahkan suasana di antara kami yang sempat sibuk dengan urusan masing-masing. Ivan bersiul-siul. Wisnu memperbaiki letak kacamatanya, sedangkan Radit menatap tidak percaya.  

Rasanya mendapat tatapan dari teman-temanku, bahkan Clara pun seolah menggodaku dengan tatapan mata penuh arti, membuat aku merasa seperti hewan buas yang terpojok dan tidak memiliki jalan keluar. Rasanya sangat menyakitkan saat semua orang kompak menyudutkan aku. Sehingga ketakutan itu berubah menjadi amarah yang mendobrak batas-batas emosi yang aku terapkan.

"Nggak. NGGAK BOLEH." Teriakku tanpa sadar. Aku tahu pasti beberapa pengunjung sedang memperhatikan aku saat ini.

"Hei, Nis. Santai aja. Ini Cuma becanda aja kok. Malu di lihat orang lain." Ucap Opik menenangkan. Aku melotot marah padanya.

"Jangan suruh aku tenang. Kamu duluan yang mulai." Pekikku kepada Opik.

Melihat amarahku begitu menggebu, Clara merapatkan tubuhnya padaku dan memelukku dengan sebelah tangannya.

"Tenang Nis. Ini hanya becandaan konyol yang seperti biasa kita lakukan." Suara Clara yang lembut di tambah usapan tangannya di punggungku, membuat aku rileks. Clara menuntunku untuk menarik nafas dan mengembuskannya beberapa kali dan berhitung dengan tempo medium  sampai angka sepuluh. Aku mengikuti petunjuk Clara dengan patuh.

"Sorry Nis, aku Cuma becanda aja." Penyesalan Opik terlihat begitu nyata.

"Aku mau pulang." Ucapku singkat.

"Tapi makanannya belum di bungkus." Ivan mencoba menahanku. Ia yang sudah bersahabat lama denganku pasti tahu bahwa makanan adalah satu-satunya alat untuk membujukku. Terutama makanan gratis.

Aku terdiam beberapa saat. Di satu sisi makanan gratis begitu menggoda, tapi disisi lain aku tidak tahan melihat anak laki-laki itu yang berani menggodaku di depan teman-temanku sendiri.

"Antar aja." Ucapku sambil menyambar tas selempangku, "Itu pun kalau kamu iklas Pik." Ucapku dengan nada sinis.

Aku tahu ucapaku sudah membuat perasaan tidak enak di antara mereka semua. Tapi perasaanku bukan untuk menjadi bahan permainan. Aku rela jika mereka menghinaaku, mengejek aku atau menggoda aku. tapi bermain dengan urusan hati, aku tidak bisa menolerir.

Aku berbalik badan dengan sigap. Clara tidak mengikutiku, aku pun berharap ia tidak mencoba mengikutiku. Karena aku takut Clara akan terkena imbas emosiku yang tidak stabil.

Setelah cukup jauh dari mereka, aku menyandarkan tubuhku di dinding. Dinginnya AC sepertinya berhasil meredam emosiku yang begitu liar beberapa menit yang lalu. Tanganku ku arahkan tepat di dadaku. Irama detak jantungku kembali normal. Tiba-tiba mata coklat Dika membayang di pelupuk mataku.

Deg!

Jantungku kembali merespon.

Gawat! Semoga ini bukan seperti yang aku pikirkan.

***


Halloohaaa ....

sedikit penguman. Mulai akhir agustus, beberapa part dari cerita bersambung yang sedang aku tulis akan aku private. Jadi hanya bisa di baca oleh followerku doang. Kecuali cerpen yang akan aku biarkan dalam setting publik.

Voment yah ^^ 

Pacarku, Adik Kelasku [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora