Bab 8

1.2K 52 1
                                    


Aku, Clara, Ivan, Radit, Wisnu dan Opik duduk di sudut cafe mewah yang berada disalah satu pojok Suzuya Mall. Cafe yang di desain khusus untuk para remaja ini sangat cocok buat hang out bareng teman. Teras di depan cafe ini di pasang papan-papan tipis yang di fungsikan sebagai pilar lalu di gantungkan tanaman rambat yang terbuat dari plastik. Buah-buah anggurnya pun yang terbuat dari plastik terasa nyata hingga begitu menggiurkan. Serasa sedang berada di kebun anggur milik Oma-ku di Medan.

"Pik, kamu memang orang kaya banget ya?"

Oke, pertanyaaku memang norak. Mungkin pertanyaan yang tidak akan pernah di tanyakan oleh cewek manapun.

Opik melirik ke arah Clara sekilas, dan lalu memandangku dengan senyum yang super bikin hati meleleh.

"Bukan 'kaya banget'  lagi Nis. Tapi super kaya."

"Bohong. Kamu sok mau pamer kan?"

"Hah pamer sama siapa? Di sini Cuma ada dua cewek antik yang sepertinya tidak tertarik sama laki-laki. Jadi buat apa aku pamer? Pamer itu kalau di hadapanku ada dua cewek yang cantiknya ngalahin super model."

Kalau bukan karena embel-embel makan gratis di cafe mewah gini, udah aku masukin kepala Opik ke penggilingan kopi.

Clara mendengus kasar, dan bisa aku rasakan ada nada kepuasan di wajah Opik. Clara yang bisanya bisa mengucapkan kata-kata paling sadis dan mematikan di dunia, pun mendadak bungkam kalau sudah berkumpul seperti ini. eh tapi tunggu, aku lupa sejak kapan Clara lebih irit bicara.

"Udah belum ngobrolnya? Udah lapar tau!" Radit mengintrupsi

"Pesan aja. Ntar aku yang bayar." Baru dua kali duduk dengan Opik, baru tahu ternyata anak laki-laki yang jadi rebutan cewek satu sekolah ini punya sisi yang berkebalikan dari image cute dan kharismatik yang ia bangun selama ini. Yah setidaknya, aku mengambil kesimpulan dia memamerkan kelebihan yang di punya sebagai alat candaan untuk mendekatkan diri dengan kami semua. Pertanyaannya, untuk apa dia mendekati kelompok kami yang jauh dari kata populer?

"Boleh bungkus bawa pulang nggak?" aku memelas, memasang wajah ala anak kucing yang minta di belas kasihani.

"Tampang jelek aja di pamer." Ivan berkomentar.

"Diam kamu, muka bandit." Balasku ke arah Ivan.

"Udah. Jangan norak. Ambil aja apa yang kamu mau Nis, bungkus juga boleh. Asal dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

"Jangan pernah pamerin muka sok memelas lagi. Aku bisa mendadak mules."

Tawa bergema di bangku kami. Clara yang biasanya tidak pernah tertawa terbahak-bahak, kali ini ikut mentertawakan lelucon Opik yang sangat tidak berkeprimanusiaan.

Dengan geram, aku memanggil pelayan yang memakai seragam kuning hitam dengan apron bewarna senada. "Bang, minta buku menunya."

Pelayan itu memadangku dengan mengernyit.

"Saya pesan semuanya tapi di bungkus. Untuk makan di sini, saya mau ice cream double porsi."

mereka menatap dengan tatapan tidak percaya padaku, saat aku mengatakan ingin membungkus semua makanan yang ada di dalam daftar menu. Urusan siapa yang bakal makan, bisa aku pikirkan di rumah. Atau bisa aku sumbangin ke anak yatim. Pokoknya balas dendam dulu buat hinaannya.

"Wah. Wah kakak muka lucu selain hobi ngomong sendiri, ternyata makannya banyak juga ya."

Seluruh pandangan mata sahabat-sahabatku, menatap lurus ke arah belakangku. Aku menoleh cepat saat menyadari julukan "wajah lucu" yang ia gunakan beberapa jam yang lalu.

  "Kamu? Yang tadi di koridor sekolah kan?"

***

Share jika suka cerita ini ^^

Pacarku, Adik Kelasku [COMPLETED]Where stories live. Discover now