Bab 6

1.3K 67 3
                                    


Miss Jasmine, guru bahasa inggris kami, selalu berhasil membuat spidol kehabisan tinta. Beliau tipe guru yang lebih suka mencatat daripada menerangkan. Padahal pelajaran yang ia ajarkan, harus banyak di praktekan antar sesama teman. Bukannya di sodorkan rumus past tense, atau future tense lalu mengisinya dengan vocabulary yang tepat. Rasanya seperti menyusun puzzle. Membongkar susunan yang sudah ada, lalu susun kembali.

Aku ditugasi mengambil spidol cadangan di ruang guru serta tinta isi ulang spidol. Saat aku membawanya di dalam kedua tanganku, aku melihat seorang cowok berjalan lurus ke arahku. Kulirik simbol yang ada di bahu kirinya, ternyata ia anak kelas satu. Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah spidol yang di tanganku. Aku memang tidak pernah nyaman bila bertatapan dengan anak laki-laki. Kecuali mereka sahabat karibku seperti Ivan, Radit, atau Wisnu. Opik tidak termasuk teman dekat, tapi yah aku lumayan nyaman kalau harus melotot padanya sepanjang waktu.

"Nisa!"aku mencari suara panggilan itu. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada siapa-siapa.

"Woy Nis, di atas ni." Aku menoleh ke atas. Ternyata Ivan yang memanggilku.

"Apa?"

"Lama bener sih. Miss Jasmine udah nungguin tu."

Udah nyuruh, eh malah protes. Emang manusia jaman sekarang sulit menghargai pekerjaan orang lain. "Kalau mau cepat, mending kamu turun dan bantuin aku bawa ini."

"Ih, ogah. Kan kamu yang di suruh."

"Kampret!"

Cowok yang aku umpat, menghilang.

"Percuma jadi cowok, pintarnya nyuruh-nyuruh aja. Pantesan di Dewi suka marah-marah kalau udah jalan bareng Ivan. Kapan-kapan provokasi ah biar berantam." Aku cekikikan seorang diri.

Aku merasa tengkukku merinding seolah sedang ada yang memperhatikan, maka aku menoleh dan melihat anak kelas satu itu sedang menatapku dengan pandangan mata yang aneh. Mungkin dia syok melihat kakak kelasnya ngomong sendiri dan cekikikan sendiri.

"Apa lihat-lihat?" aku melotot ke arahnya.

Aku menduga ia akan mengelak dan mengucapkan permintaan maaf. Bagaimanapun juga aku ini kakak kelasnya, bukan?

"Aku pikir hanya pendengaranku yang salah, ternyata kakak memang sedang bicara dan tertawa sendiri." Dia tertawa kecil.

"Masalah buat kamu?"

Dia mengangkat bahunya, "Tidak ada masalah. Tapi aku suka tawa kakak itu."

Deg deg deg...

Eh buset. Jantungku berdebar kencang Cuma gara-gara dapat pujian cetek dari anak labil gitu. Aku ingin membalas dengan kalimat yang lebih sadis, dingin dan menyebalkan, hanya saja kata-kata itu tidak mau keluar ketika anak laki-laki itu memberikan salam hormat dengan menempelkan dua jarinya ke pelipisnya.

"Sampai jumpa kakak wajah lucu."

Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa melupakan julukan itu. Senyum itu. Terutama,wajah itu.

***

BIla suka cerita ini, share dan vommet yah ^^


Pacarku, Adik Kelasku [COMPLETED]Where stories live. Discover now