Dahi Angga berkerut samar. Namun, karena ia tahu catatan yang ditulis Bagas pastinya lebih bagus dan lengkap dibanding miliknya sendiri, Angga pun menarik kembali buku yang hendak dipinjamkannya tanpa berkata apa-apa lagi.

Sementara itu, Vania menatap Angga dan Bagas bergantian.

"Van?" panggil Bagas, menunggu responsnya.

"Oh, iya. Besok gue balikin. Thanks, ya," ucap Vania sungguh-sungguh. Meski ia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

Bagas mengangguk. Ia melirik Angga yang tengah memasukkan bukunya ke dalam tas. "Nyatet lo, Ngga? Tumben rajin."

Angga hanya tersenyum tipis.

***

"Van, nanti sore ada waktu?" tanya Angga saat ia berhasil memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda keberadaan Bagas di sekitar Vania, sebab Aldo, Bagas, dan Revan sudah lebih dulu meninggalkannya ke kantin.

Vania terlihat ragu sejenak. "Ada, kenapa?"

"Boleh minta tolong ajarin gue nyelesain materi soal buat ujian minggu depan, nggak?"

Tak percaya dengan apa yang didengarnya, Vania pun bergumam, "Apa?"

"Bantuin gue nyelesain materi soal buat ujian minggu depan," ulang Angga. "Bisa?"

Vania menggigit bibirnya. Tak enak jika menolak, Vania pun menjawab, "O-oke."

Sehingga sore itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi dan semua siswa keluar dari kelas satu per satu, hanya tersisa Angga dan Vania saja di dalam kelas bersama dua rangkap soal fotokopian materi ujian tahun lalu di meja mereka.

Ajaibnya, Angga betul-betul mendengarkan arahan Vania dengan penuh perhatian dan menuntaskan semua nomor dari soal ujian Ekonomi dengan hasil yang lumayan baik.

Vania juga nampak puas melihat hasilnya, meski masih banyak juga jawaban salah yang terisi. Mungkin pepatah yang mengatakan bahwa you have to expect the worse from someone so that they can't disappoint you ada benarnya juga.

Seusai membereskan alat tulis dan bukunya, Vania berucap, "Gue balik, ya."

Tidak ada anggukan, tidak ada pula bantahan. Angga hanya terdiam di kursinya. Sampai akhirnya Vania bangkit dari duduknya, kali itulah Angga mencegahnya dengan mencengkram pergelangan tangan kanan gadis itu.

"Aw!" erang Vania kesakitan dan spontan Angga berseru minta maaf.

"Sori! Sori!" ucap Angga berkali-kali. Vania mendesah panjang.

"Ada apa lagi?" tanya gadis itu.

Mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja, Angga kembali angkat bicara. "Gue... gue... bisa nggak lo tinggal sebentar lagi di sini?"

Tanpa perlu diragukan lagi, kerutan di kening adalah reaksi pertama yang muncul di wajah Vania. Walau begitu, ia tetap kembali duduk untuk menuruti permintaan Angga.

"Gue kangen, Van."

Vania menarik napas lamat-lamat.

"Gue kangen ngobrol sama lo," aku Angga. Laki-laki itu menelan salivanya. "Meskipun kita emang nggak sering ngobrol juga, sih. Dan, sekalinya ngobrol juga pasti nggak nyambung."

Vania menegakkan badannya. "Then, talk."

Angga tersenyum getir. "Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi, kan?"

Mengembuskan napasnya panjang-panjang, Vania lantas menggeleng. "How can you pretend like nothing ever happened? I can't, I won't. It's not a walk in the park to do that."

The Two of UsWhere stories live. Discover now