"Kamu punya banyak dong?" tanya Gadhra lagi.

"Ada sih beberapa di kamar aku," kata Via. "Kamu mau liat?"

Gadhra mengangguk semangat. "Mau doooongggg,"

Via membawa Gadhra menuju kamarnya yang berada di lantai dua, yang hanya terdapat kamarnya dan kamar tamu. Terkadang, saudara nya sering mengunjungi rumah mereka untuk bersilaturahmi. Mereka biasanya beristirahat di kamar tamu

Langkah Gadhra terhenti saat ia melihat sebuah papan kecil yang menempel di pintu kamar Via. Papan kecil itu bertuliskan 'Chessa Thivia'.

"Ini nama kamu?" Tanya Gadhra

Mendengar perkataan Gadhra, Via yang tadinya sudah berjalan masuk ke kamar menghentikan langkahnya dan melihat ke arah suara.

"Iya Adhra," jawab anak itu. "Kenapa?"

Gadhra tertawa kecil. "Namaku Gadhra tauu," katanya. "Tapi gapapa kalo dipanggil Adhra lucu juga."

Muka Via berubah menjadi merah saat mengetahui bahwa ia salah menyebut nama. Gadhra dapat melihat perempuan di hadapannya memilin-milin celana pendek yang ia gunakan.

Melihat Via yang salah tingkah, Gadhra tertawa. "Kamu gitu aja panik,"

"Gapapa, mulai sekarang panggil aku Adhra aja." lanjut anak laki-laki itu. "Tapi aku panggil kamu Thivia boleh? Abis nama kamu bagus."

Gadhra memang lebih banyak omong dibanding Via. Hal itu yang membuat Via takjub kepada anak itu, karena sekali tidak merasa canggung meskipun ini pertemuan pertama mereka.

"Boleh!" Via mengangguk setuju. "Belum ada yang pernah manggil aku Thivia."

Baru saja kedua anak itu masuk ke kamar Via, terdengar suara orangtua Gadhra dari bawah untuk mengajaknya pulang. Gadhra berteriak kecil menjawab panggilan Ibunya, sebelum matanya berpaling melihat Via dan tersenyum.

"Ya udah aku pulang dulu yaa," kata Gadhra. "Kapan-kapan kita main lagi ya Thivia!"

****

"Via?" Panggilan itu menyadarkan Via. Ah, Reon rupanya.

Via kembali tersadar dari lamunannya. Perempuan itu melirik ke arah laki-laki yang sedari tadi masih menatapnya lekat-lekat.

Dia masih disini. Cowo itu masih disini. Adhra masih disini.

"Hey kamu kok bengong?" Lagi-lagi suara Reon kembali menyadarkan Via. Perempuan itu melihat ke arah Reon yang duduk di sampingnya.

"Hah?" katanya pelan. "Gapapa kok sayang. Aku mau ke toilet sebentar ya."

Via langsung berdiri dari tempatnya duduk. Bola matanya kembali melihat Gadhra yang belum berhenti menatapnya.

Saat hendak beranjak ke toilet, Reon memegang tangan Via—yang membuat perempuan itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Reon.

"Adel mana?" tanya Reon.

"Oh dia lagi beli makanan," jawab  Via. "Kamu kalo mau nitip makanan, hubungin aja dia."

"Ohhh okay," jawab Reon singkat. Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya untuk menghubungi Adel. Pengen nitip nasi uduk.

Via tersenyum dan langsung berjalan cepat menuju kamar mandi. Yang ia inginkan saat ini adalah secepatnya pergi dari meja itu.

Masih bisa dirasakan nya sesak yang sedari tadi menghantui nya. Perasaannya yang sedang tidak karuan membuat ia ingin segera pulang ke rumah. Tapi bagaimana, perempuan itu sudah terlanjur janji kepada Adel.

Perasaan itu muncul lagi. Perasaan bersalah yang menghantui nya beberapa tahun ini kembali lagi. Via menyadari itu tidak akan pernah hilang. Setidaknya, saat bersama Reon, ia bisa sedikit melupakan itu dan merasakan kembali yang namanya bahagia. Namun kalau ia bertemu dengan orang itu lagi, sama saja dengan membuka luka lama yang sangat dalam—yang sudah mulai terobati.

Via membasuh mukanya beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Ia menangis. Tidak, tidak boleh seperti ini. Ia harus tenang, tidak boleh kelihatan gelisah di depan Reon dan Adel.

Setelah beberapa menit menenangkan diri di dalam toilet, Via kembali ke kantin. Matanya melihat ke arah meja tempatnya duduk tadi. Gadhra sudah tidak ada. Syukurlah, pikirnya.

Adel dan Reon sudah menikmati makanan nya pada saat Via datang dan duduk di bangku. Via memperhatikan Reon. Saat ini, ia ingin sekali dipeluk Reon, menangis sekencang-kencangnya di pelukan Reon. Tapi, ia tidak ingin Reon khawatir. Ia juga belum mau Reon tau tentang hal ini. Lebih tepatnya, ia tidak mau mengingat kembali masa lalunya.

"Eno mana Del? Lama banget." Reon bertanya kepada Adel yang sedang menyeruput mie ayamnya.

"Tadi dia lagi ke akademis dulu katanya," jawab Adel. "Lama banget anjir, pengen ngomel-ngomel gue."

Reon tertawa. "Kita liat aja berapa lama Eno tahan sama lo."

Reflek Adel mengetuk-ngetuk meja, bibirnya mengucapkan amit-amit berulang-ulang kali. Tidak lupa segala sumpah serapah ia ucapkan kepada Reon yang sedang tertawa melihat Adel.

"Vi cowo lo nih!" kata Adel sambil melirik Via.

Menyadari Via yang belum menyentuh baksonya sama sekali semenjak ia kembali dari toilet, Adel bertanya kepada perempuan yang duduk di hadapannya.

"Vi, kok ga dimakan sih baksonya? Katanya pengen bakso?"

Mendengar perkataan Adel, Reon melihat ke arah Via yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu tersentak kaget saat melihat muka Via yang terlihat pucat dan sangat lesu. Sontak, Reon meletakkan sendoknya dan memegang kepala Via lembut.

"Aku gapapa Yon," kata Via pelan saat Reon menanyakan keadaannya.

Adel yang panik melihat keadaan Via, langsung menyuruh Reon untuk membawanya pulang. Namun Via menggelengkan kepalanya.

"Gue gapapa gila," kata Via. "Kan gue udah janji nemenin lo."

"Gapapa pala lo!" Adel berjalan dan duduk di sebelah Via. "Muka lo udah kaya hantu anjir. Ngapain masih mikirin gue sih?"

Adel bergerak membereskan barang Via, memasukkan botol minum perempuan itu ke dalam tasnya, kemudian ia menyerahkan tasnya kepada Reon.

Reon langsung berdiri dan bersiap menuju parkiran. Untungnya ia tidak meninggalkan mobilnya di Fakultas Ekonomi, sehingga mereka tidak perlu berjalan jauh.

Reon menyuruh Adel untuk menjaga Via di lobby Teknik, sambil menunggu laki-laki itu mengambil mobil di parkiran. Adel mengangguk paham, perempuan itu mengambil tasnya sebelum beranjak menuju lobby—bersama Via yang berulang kali meminta maaf karena tidak jadi menemaninya.

"Sumpah Chessa Thivia," kata Adel gemas. "Sekali lagi lo minta maaf gue tinggal ya."

Via tertawa. Perempuan itu mengucapkan terimakasih kepada Adel sebelum ia masuk ke dalam mobil Reon.

"Salam sama Eno ya Del!" katanya sambil melambaikan tangan kepada Adel.

Selama perjalanan, Reon berulang kali menyuruh Via untuk tiduran. Via tertawa kecil melihat Reon yang mencubit lengannya pelan karena sebal melihat Via yang memaksakan diri untuk menemani Reon menyetir.

Sebenarnya saat ini yang Via inginkan hanyalah memeluk Reon, menangis sekencang-kencangnya di dalam pelulan Reon. Namun tidak bisa, Via ingin bercerita banyak kepada Reon, mengeluarkan seluruh perasaannya.

Tapi dia belum siap untuk menceritakan semuanya.

----⛔----

Selamat Hari Raya Idul Fitri semuanya! Mohon Maaf Lahir dan Bathin yaa. Ga kerasa udah sebulan kita menjalankan ibadah puasa. Semoga amal ibadah kita diterima Aamiin yaRabbal Alamin.

Love you all

xoxo

T R A P P E DWhere stories live. Discover now