"Kau kenapa?" tanyanya sembari memelukku lebih erat. Seakan aku merasakan degupan jantungnya yang lebih cepat. Hangatnya tubuh Wonwoo mendekap erat tubuhku.

"Aku tak ingin kau jauh dariku," kataku tersenggal.

"Aku tak akan pergi, Sayang."

"Tapi kita harus berpisah," kataku terhenti lalu mengusap air mata yang terjun deras dipipiku.

Wonwoo kaget. "Oh astaga apa yang kau katakan?" Aku semakin menangis. Semakin erat memeluknya.

"Kita harus putus ... Wonwoo," kataku pelan, sangat pelan. Berusaha agar Wonwoo tak mendengarnya. Namun kenyataannya dia mendengar dengan jelas.

Wonwoo melepas pelukanku lalu menatapku. "Apa yang kau katakan Ahrim?" Aku hanya bisa menunduk dan menangis.

"Katakan ada apa?" lanjutnya.

Aku masih menunduk menghapus air mataku yang sedari tadi keluar.
"Papa berencana menjodohkanku dengan Seungcheol, anak relasi kerjanya sekaligus sahabatnya," kataku pelan.

Wonwoo kaget. "Kenapa begitu?"
Aku kembali menangis. Memeluknya erat. Aku menceritakan segala hal yang aku ketahui tadi malam kepada Wonwoo sambil masih memeluknya. Bersyukur Wonwoo paham dengan ini. Namun aku sama sekali tak rela meninggalkannya. Dia teramat sempurna untukku.

"Jika ini yang terbaik. Tak apa," katanya memelukku semakin erat. Kurasakan degupan jantungnya semakin cepat. Badannya gemetar, aku percaya dia sedang menahan tangisnya. Aku makin menangis. Pelukan kami lepas. Wonwoo menatapku tersenyum. Menghapus air mataku. "Kau harus tenang, Sayang."

"Aku tak ingin kau pergi."

"Aku tak akan pergi aku akan selalu bersamamu meskipun kita bukan sepasang kekasih," kata Wonwoo sendu di depanku. Aku menunduk.

Tangan kuatnya memegang daguku lalu mengangkat kepalaku yang menunduk dengan mesra. Menatapku penuh kasih sayang. Wajahnya semakin mendekat. Lebih dekat. Lebih dekat. Bibirnya dan bibirku beradu. Dia menciumku untuk pertama kalinya selama dua tahun ini. Aku merasakan sakit yang teramat dalam. Kasih sayangnya terlalu sulit untuk kulupakan. Cintanya terlalu tinggi untuk kuhempaskan. Perlakuannya terlalu berat untuk kutinggalkan.

Nafasnya beradu dengan nafasku. Aku menitihkan air mata lagi, menangis meratapi ini. Wonwoo melepas ciumannya. Tersenyum getir. Lalu membawaku kedadanya. Memelukku erat. Hubungan ini telah berakhir. Telah berakhir dengan sangat tragis.

---

Tiga bulan sejak putusnya aku dengan Wonwoo. Kami masih sering bertemu untuk sekedar melepas rindu. Kami masih sering berpelukan bahkan berciuman. Aku membiarkannya menciumku karena aku masih mencintainya. Sungguh aku tak ingin lepas darinya. Namun Wonwoo harus pergi ke Eropa untuk bersekolah, meneruskan studi pasca sarjananya. Rencana itu sudah terencana dengan baik beberapa bulan lalu. Jika belum berpisah, aku berencana untuk mengunjunginya dengan rutin. Membuatkannya makan dan saling menghabiskan malam bersama. Kami sempat melepas kangen. Naik bianglala di pusat kota Seoul. Tepat dipuncak dia kembali menciumku. Dia berjanji akan kembali membawa kabar baik untukku meskipun kami tak memiliki hubungan lagi.

Hari ini adalah jadwalku bertemu dengan Mama Seungcheol, Nyonya Song. Pemilik salon kecantikan terbesar di kota Seoul. Nyonya Song kerap menemuiku, dia sering berkata untuk sekedar memberi tahu bagaimana sifat Seungcheol, bagaimana kebiasaan Seungcheol dan lainnya. Untuk persiapan menjadi seorang istri katanya. Namun nyatanya, sama sekali aku tak bisa memahami sifat Seungcheol yang jauh dari pikiranku.

Saat ini dia menemuiku untuk mengambil setelan gaun untuk pertunanganku. Tepat besok malam kami bertunangan. Aku masih tak mengenal Seungcheol. Dia layaknya lelaki yang buruk dimataku karena kelakuannya menuduh Papa sebagai orang yang membunuh Papanya. Ya ... aku memang tahu jika Papa Seungcheol memiliki jabatan yang lebih tinggi. Keluarganya adalah keluarga terkaya nomor tiga di Korea Selatan. Aku tahu dan aku paham.

"Sayang setelah ini kita ambil cincin pertunangan kalian ya," kata Nyonya Song padaku.

Aku terkaget. "Baiklah."

Aku melajukan mobilku lengang disepanjang jalan kota Seoul yang cukup sepi. Memarkirkan tepat didepan sebuah toko berlian tak jauh dari toko gaun tadi.

Aku menunggui di mobil. Memainkan ponsel untuk melihat foto-fotoku dengan Wonwoo. Tawa pahit muncul dari bibir mungilku. Aku rindu lelaki ini.

Telfonku berdering. Tanpa nama.
"Hallo," kataku.

"Hallo. Ini Ahrim?"

"Iya benar, siapa ya?" kataku. Terdengar suara musik yang cukup keras.

"Aku Seungcheol."

Aku kaget. Bagaimana lelaki ini bisa mendapatkan nomor ponsel ku?
"Ada apa?"

"Besok ada waktu?"

"Ada."

"Temui aku di Grenny Cafe jam dua siang," katanya lalu terputus.
Apa maksudnya ini? Dia ingin menemuiku setelah rentetan sumpah serampah yang dia layangkan pada Papa dan Mama? Aku benar-benar tak bisa memahami calon suamiku itu.

Nyonya Song berjalan menuju mobilku. Bersama seorang pelayan lelaki yang membawa setelan jas serta gaun dengan potongan bawah diatas lutut. Terlihat simple memang, karena cuma pertunangan saja. Pernikahan kami akan dilangsungkan satu minggu setelahnya.

Perjalanan malam ini jadi perjalanan tercanggungku dengan nyonya Song, Mama Seungcheol. Pasalnya, dulu kami akan bercanda jika bertemu. Tentunya bersama Mama juga. Malam ini kami hanya terdiam. Tak berbicara satu sama lain. Sesekali Nyonya Song bercanda yang kusambut dengan senyum getir. Mengantarnya pulang dan aku kembali untuk bersiap besok. Pertunangan terkutukku.

---

Yuhu SCoups part 1 kelaaar!
Yuk vommentsnya, susah loh bikin dan mikir segitu. Emang cuman sekitar 1000 kata sih, tapi ya kalo mikir serius susah juga.

Hargai yang nulis yaa. Ngasih vote gampang ko, gratis. Yang baca tapi belum follow, klik aja 'follow' atau 'ikuti', dijamin gratis juga ko selamanyaa.

Yuk, biar aku semangat bikin part dua😉

Soft Of VoiceWhere stories live. Discover now