Juliet mengangguk, lalu mulai menikmati bubur yang dihidangkan Rafael. Sedangkan laki-laki itu masih menatap Juliet baik-baik. Seperti Juliet yang begitu senang, Rafael juga bisa bernapas lega. Hari buruknya sirna sejak dia menyadari bahwa Juliet juga menganggapnya penting. Bukan sekedar teman berdebat lagi atau rekan dalam 'kelas' menembak dadakan itu.

***

Cliff baru saja bernapas lega setelah menerima telepon dari Rafael. Dia hampir mengira Juliet sudah kehilangan akal sehat sampai-sampai belum pulang sekedar mengkhawatirkan sahabatnya itu. belum lagi kalau-kalau Juliet berada dalam bahaya seperti dahulu. Dia tidak mau menyesal untuk ke sekian kalinya. Bahkan saat peristiwa itu terjadi, dirinya tidak ada untuk Ibunya dan Juliet. Tidak ada perlindungan secara langsung. Kematian Rakata tidak bisa sepenuhnya dia sesali sebab sahabat kesayangan Juliet itu bisa dikatakan menjadi pelindung keluarganya.

"Sahabat kamu baik-baik aja sekarang?"

Cliff menoleh ke arah kekasihnya yang sedang memakai kacamata tebal, menghadap komputer miliknya. Kencan mereka hari ini tidak berjalan dengan lancar sebab fokus Cliff mendadak terarah pada kabar keberadaan Rafael. Meskipun begitu, Regrisca tidak protes apapun. Dia menyarankan untuk berada di rumah saja sembari menemaninya berkutat dengan tugas kuliah. Itu alasannya kenapa sekarang mereka berada di ruang kerja yang biasa dipakai Robert ketika berada di sini. Berhubung komputer Cliff rusak, dia bersedia meminjamkan milik Ayahnya untuk Regrisca. Lagipula, barang sebagus itu tidak baik dibiarkan berdebu.

"Barusan minta ijin aku supaya Juliet pulangnya besok pagi aja."

Regrisca tersenyum samar kemudian mengangguk paham. Dia bersegera menyelesaikan tugasnya. Tidak mungkin dia membuat Cliff menunggu lebih lama lagi. Waktu semakin larut dan dia cukup tahu diri telah menggunakan komputer Robert selama lebih dari enam jam.

"Selesai.." seru Regrisca diikuti dengan peregangan kecil di sekitar punggung dan tangannya.

Baru saja mau merasa lega, Regrisca kembali melirik Cliff yang agaknya murung dari biasanya. Malam ini dia memang tidak banyak bicara. Keningnya beberapa kali mengerut. Regrisca tentu menyadari kondisi kekasihnya itu.

"Cliff?" panggil Regrisca.

"Kamu udah selesai?"

Regrisca mengangguk lalu duduk di sebelahnya. Sepertinya pikiran Cliff benar-benar sedang kalut.

"Masih khawatirin Juliet?" kini gantian Cliff yang mengangguk.

"Sejak kecil aku dikasih kebebasan sama Papa untuk memutuskan apapun yang aku mau. Katanya supaya aku jadi laki-laki yang bertanggung jawab di masa depan nanti. Jadi dengan gampangnya aku fokus sama diri sendiri, pengen sekolah ke mana pun, pergi ke mana pun, gak mau ada yang halangin."

"Sampai kejadian waktu itu hampir benar-benar buat aku sendiri di dunia ini. Ya sekarang mungkin aku cukup lega Juliet dan Mama baik-baik aja. Tapi mereka malah gak pernah tenang sedikitpun, Re. Tiap aku pulang ke sini, Juliet bakal selalu nyibukin diri. Seakan nyuruh aku gak perlu khawatir lagi. Apalagi Mama..."

Cliff mulai sulit melanjutkan keluh kesahnya. Padahal itu baru permulaan dari semua beban yang ada di pikirannya. Regrisca sudah cukup paham tentang masalah keluarga kekasihnya itu. Dia yang tahu pasti tidak begitu pantas merespon apapun, hanya memberikan pelukan hangat, berupaya menenangkan Cliff yang makin larut dengan kekhawatirannya.

"Aku sepenuhnya pengen terlihat sempurna di mata kamu. Tapi punya kamu di sisi aku kayak gini, malah buat sisi gelap aku nyaman."

Regrisca tersenyum kemudian menatap Cliff yang syukurnya tidak menangis. "Merasa lebih baik?"

Cliff langsung mengangguk dan menariknya kembali ke pelukan. Sepertinya bukan Juliet saja yang tidak pulang ke rumah hari ini. Kekasihnya yang masih terlalu misterius selain fakta bahwa mereka berada di sekolah dasar yang sama. Namun mungkin itu menjadi daya pikat Regrisca. Kepribadiannya mengingatkan Rafael akan Juliet. Bahkan ketika Juliet pertama kali dirundung kehilangan akan Rakata, adiknya itu membuat Cliff tidak punya pilihan selain mencari keberadaan cinta pertamanya itu. Ah, lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu, gadis canggung itu yang menghampirinya lebih dulu.

"Ngomong-ngomong, kamu biasanya ngerjain tugas berjam-jam kayak tadi ya?"

"Kebetulan hari ini tugasnya emang lagi penting dari biasanya, sayang.."

***

"Beneran mereka."

Juliet memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Dia baru saja menaruh kembali peluru yang sempat menembus lengannya. Terlepas dari kelegaannya bahwa Rafael baik-baik saja, Juliet tidak mungkin melupakan satu-satunya tujuan yang membuatnya dapat bertahan hidup sampai saat ini. Sepanjang malam dirinya terjaga, tidak dapat tidur dengan baik. Rasanya, perang akan benar-benar meledak sebentar lagi. Dan hal yang masih saja membuat dia kebingungan adalah menentukan targetnya. Dia harus mulai dari mana? Si penelpon misterius? Orang-orang yang suka menghadang jalannya semacam tidak punya arena sendiri untuk mengajak perang? Atau...

"Gue gak bakal pergi."

Juliet menoleh ke luar kamar yang ditempatinya malam ini. Rafael tampak tertidur pulas di sofa. Mungkin juga tidak sedang pulas. Juliet cukup tahu artinya tertidur 'pulas'. Tidak ada mimpi buruk. Iya, dia benci menghadapi mimpi buruk. Dia lebih menantikan tidur panjang tanpa mimpi apapun. Benar-benar beristirahat dengan tenang. Barangkali jika ditanya apa keinginan terbesarnya, Juliet akan mengatakan itu tanpa ragu-ragu.

"Gue mungkin bakal pergi," gumam Juliet, seakan membalas ucapan tanpa sadar dari Rafael tadi.

Juliet menutup matanya perlahan, meneteskan air mata kembali. Tangisannya tampak tenang, sedang pikirannya makin sibuk membuat keputusan penting. Kalau dia gegabah seperti ini, dia hanya akan menyaksikan tragedi yang sama pula.

***

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

Berbagai lembar kertas berserakan di ruang kerja Robert. Aroma rokok perlahan sirna terbawa angin melewati jendela yang terbuka lebar. Beberapa dokumen tebal masih menumpuk di atas mejanya, namun sepertinya tidak begitu penting untuk diurus. Keberadaan Robert? Dia sedang mengamati potret keluarganya yang diambil lima tahun lalu dan dirusak dengan bekas peluru pada bagian Juliet dan Vina. Iya, itu ancaman tiga tahun lalu yang pernah dia abaikan. Dia benar-benar hampir kehilangan keluarganya kalau-kalau Rakata tidak menjadi penyelamat dan Cliff ada di pemotretan keluarga waktu itu.

Kali ini dia meninggalkan potretnya bersama Cliff di hari kelulusan anak itu. Potret yang kini dirusak dengan garis kecil yang sudah jelas adalah bekas ujung pisau. Robert menghela napas. Tidak. Dia sedang tidak pasrah. Ancaman ini sudah dia duga sejak dirinya memaksa untuk hadir di hari kelulusan Cliff. Dia tidak bisa menjadi pengecut dan mengesampingkan perannya sebagai kepala keluarga.

"Weak threat."

Robert masih tetap tenang sebab hal yang diincar musuhnya tidak akan didapatkan kalau dia ikut mati. Gaya ancaman seperti itu membuat Robert bosan. Meski kali ini dia sudah mempersiapkan salah satu tameng untuk melindungi keluarganya. Sedangkan dirinya? Sudah ada permainan menarik untuk diakhiri dengan kemenangannya nanti. Tidak akan lagi yang perlu mati selain mereka yang memang pantas. Tidak, setelah dirinya dan Juliet sama-sama kehilangan sahabat karib mereka. 

Bad Juliet?Where stories live. Discover now