"Sudah beres.."

Pertunjukan kecilnya sudah selesai.

Keringat Rafael yang sejak sejam terakhir bercucuran akhirnya bisa dia keringkan dengan penuh rasa bangga. Untung saja pendarahan Juliet tidak begitu drastis. Dia jadi tersenyum lega karena bisa mengobati lengan Juliet yang terluka itu.

"Lo beneran seumuran sama gue, kan?"

"Ssst..."

Rafael tersenyum samar lalu merapikan kembali berbagai peralatan yang dia gunakan untuk mengobati Juliet. Sekarang kondisi Juliet semakin membaik kecuali tubuhnya yang masih agak lemas dan lengannya yang masih mati rasa.

"Gue juga pernah kayak lo," ujar Rafael begitu selesai membereskan seluruh peralatan tersebut. Tak lupa jarinya menunjuk pada bekas jahitan yang ada di betis kirinya.

"Peluru nyasar dan bokap nunjukin cara mengatasinya tanpa repot-repot ke rumah sakit. Ya setidaknya punya peralatan dasar dan keterampilan, dijamin beres. Hehe.."

Juliet terkekeh saking merasa agak gemas mendengar penjelasan Rafael. Seakan kedatangan Rafael sudah seperti malaikat penolongnya. Bisa-bisanya keterampilan yang dia punya beberapa kali berguna untuk Juliet. Bahkan dia tidak mengharapkan itu semua.

"Gue suka lo apa adanya, bahkan tanpa keterampilan gini," celetuk Juliet, dengan polosnya.

Rafael sampai menghentikan kegiatannya yang sedang mencari-cari kaos mana yang bisa dipakai Juliet saat ini. Tidak mungkin kan kalau Juliet kembali ke rumahnya dengan seragam yang dipenuhi darah. Tapi mendengar ucapan Juliet barusan, hatinya seakan berhenti berdetak dan sekujur tubuhnya macam membeku. Reaksi macam apa ini? Semestinya dia akan sok keren atau tersenyum samar atau apapun yang tidak menunjukkan kegugupannya.

"Gue gak akan mungkin ada di perederan lo kalau benci. Jadi ayo napas lagi dan jangan terlalu senang sama ucapan gue barusan!" ketus Juliet dengan cara yang menggemaskan. Semacam matanya sedang tersenyum meski sedemikian rupa gadis itu memasang ekspresi datar.

"Lo harus ganti pakaian.." gumam Rafael lalu menyodorkan kaos hitamnya pada Juliet.

"Bisa ganti sendiri, kan?" Rafael ingin memastikan, tidak ada niat gila sedikit pun. Tenang saja.

Juliet memutar kedua bola matanya, mau mengomeli Rafael namun tidak jadi. Dia hanya tersenyum simpul kemudian mengangguk. Segera Rafael memberi ruang privasi untuk Juliet. Meski membutuhkan waktu beberapa menit lebih lama dari biasanya, namun Juliet berhasil mengganti pakaian tanpa perlu mengacaukan hasil dari pertunjukan kecilnya Rafael tadi. Tidak butuh waktu yang lama, Rafael kembali membawa semangkok bubur nasi bersama susu vanila. Dia tidak akan ceroboh lagi menawarkan Juliet susu coklat seperti dahulu.

"Nasi gorengnya di mana?" tanya Juliet, mengingat tawaran Rafael tadi agak berbeda dengan yang sedang dia sajikan saat ini.

"Mengingat kondisi lo.." ujar Rafael, membuat Juliet mengangguk paham.

"Gue pikir lo gak punya beras," celetuk Juliet.

Rafael tersenyum samar, "Waktunya makan dulu, terus istirahat."

"Berarti gue harus pulang ya sehabis makan?" Juliet menatap Rafael dengan tatapan selidik.

"Gak! Bukan gitu!!"

Juliet dibuat tertawa melihat reaksi Rafael. Air matanya bahkan sampai keluar sebab merasa lucu, seakan candaannya memang benar berhasil. Rafael bahkan mengira Juliet yang ada di hadapannya sedang kerasukan atau mungkin sudah hilang kewarasan? Entahlah.

"Hari baik gue ternyata bisa terselamatkan," gumam Juliet selagi dia mencoba mengatur kembali napasnya.

"Sesenang itu?" Rafael menatapnya dengan serius.

Bad Juliet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang