"El?"

"Bukain pintunya!!"

"Gak lucu ya El!!"

"Rafael!!"

Juliet dipenuhi kegeraman dan ketakutan saat ini. Dia sudah tidak bisa berpikir bahwa Rafael sedang baik-baik saja sepertinya. Merasa kelelahan, Juliet duduk bersandar di depan pintu. Dia jadi tidak peduli dengan suasana yang cukup menyeramkan di koridor gedung itu. Yang dia pikirkan sekarang adalah keberadaan Rafael. Bisa gila dia kalau sesuatu tiba-tiba terjadi pada Rafael. Juliet memilih mengambil teleponnya dan langsung menghubungi Cliff. Siapa tahu Rafael hanya sedang mencoba untuk bolos sekolah? Ya meski itu agak mustahil kecuali kemarin.

"Kenapa, Dek?"

"Lo lagi sama El, gak?"

"Gak tuh. Emang kenapa? Dia gak masuk sekolah?"

"Gue gak tahu El di mana. Dari tadi dia gak angkat telepon, gak ada di apartemen dan tempat yang sering kita kunjungin, Kak."

"Juliet.. tolong tenang dulu. Siapa tahu dia lagi ketemuan sama teman-temannya dulu?"

"Sampai bela-belain gak masuk sekolah?" Juliet makin tidak bisa tenang kalau seperti ini.

"Oke. Gue ngerti. Bakal gue bantu nyari dia ke tempat yang biasa dia kunjungin."

"Bilang ke gu-"

"Lo tenangin diri dulu. Biar gue bantu, sementara itu lo coba terus hubungin Jordan. Gue yakin dia baik-baik aja."

"Harus baik-baik aja, Kak.."

Juliet mengakhiri panggilannya. Dia kembali berdiri dan bergegas keluar dari gedung itu sembari tangannya beberapa kali sibuk menghubungi Rafael. Hasilnya nihil. Tidak diangkat sama sekali meski tersambung. Juliet makin bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Rafael sampai-sampai tidak bisa mengangkat teleponnya.

"PAM!!"

Suara tembakan. Dan tembakan itu terkena tepat di lengan kanan Juliet. Tangannya jadi begitu gemetar dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Sakit pada lengannya terasa begitu tajam. Juliet melihat ke segala arah, mencari pelaku yang menembaknya. Namun tak ada siapapun yang dilihat. Menahan sakit di lengannya, Juliet masuk ke dalam mobil dan melaju cepat meninggalkan tempat itu.

"Hishh.."

Juliet mulai meringis kesakitan. Dia berusaha untuk menahan rasa sakit di lengannya. Tidak ada pilihan lain untuk berusaha tenang apalagi setelah penyerangan misterius tadi. Dia tetap harus mencari Rafael. Sambil menunggu kabar dari Cliff, gadis itu memutuskan untuk kembali lagi ke apartemen Rafael, berharap laki-laki itu mungkin sudah ada di sana. Sesampainya di apartemen, Juliet mengenakan jaket berwarna merah agar darah yang ada di lengannya tidak menjadi perhatian orang-orang.

"Tiga siswi tewas bunuh diri di gudang sekolah CB. Sejauh ini belum ditemukan surat bunuh diri. Sementara itu, diduga mereka sering melakukan aksi pembulian di sekolah. Polisi masih akan memastikan apakah ada kemungkinan bahwa peristiwa ini adalah kasus pembunuhan bukan bunuh diri semata.."

Sebuah berita yang disiarkan lewat televisi di lobi apartemen, membuat perhatian Juliet teralihkan. "Bukan bunuh diri semata?" Jadi dapat diartikan senyum samar Cikita di sekolah tadi juga sebuah petunjuk bahwa tiga serangkai itu benar-benar dibunuh? Apa gadis murahan itu sebenarnya adalah psikopat gila yang hanya ingin ke sekolah untuk membantai?

"El.." gumam Juliet, semakin mengkhawatirkan Rafael.

Juliet berlari menuju apartemen Rafael dan kembali mengetuk-ngetuk pintunya. Lagi dan lagi, tidak ada respon. Juliet jadi makin khawatir. Dia tidak bisa menenangkan diri lagi. Dia hanya ingin tahu keadaan Rafael baik atau tidak. Saking frustasinya dia mencoba untuk mendobrak pintu tersebut dan konyolnya dia ketika mengetahui bahwa pintu apartemen tersebut tidak terkunci.

"El???"

Tidak ada Rafael di apartemen itu. Juliet dapat melihat jelas ponselnya hanya terbiar di atas ranjang. Begitu juga kamera yang pernah dilihatnya waktu mereka pergi ke pantai kala itu. Juliet semakin kesal. Dia mencari keberadaan Rafael di setiap sudut apartemen itu namun percuma saja. Rafael benar-benar tidak ada.

"Lo di mana sih, El?" gumam Juliet, merasa begitu kelelahan, dan memilih duduk bersandar di depan tempat tidur.

Dia kembali melirik kamera Rafael. Rasanya Juliet mau menangis sejadi-jadinya ketika melihat berbagai potret hitam-putih yang diambil Rafael. Salad buah sewaktu di pantai, wajahnya yang tidak senyum, ekspresi datarnya, dan beberapa foto lainnya. Juliet akhirnya membenamkan wajahnya di balik kedua lutut setelah menaruh kembali kamera itu di tempat semula. Firasatnya sangat buruk. Dia takut sesuatu yang mengerikan terjadi di hidup orang-orang terdekatnya lagi.

"Rafael Jordan adalah nama yang bagus. Bukankah begitu?"

Ucapan penelepon misterius itu jadi teringat dalam ingatan Juliet. Dia makin frustasi memikirkan kalau-kalau sesuatu yang diduganya mungkin berhubungan dengan para brengsek itu. Tanpa dia sadari, air mata perlahan turun. Apalagi tembakan yang kena tepat di lengannya tadi membuat Juliet jadi makin meringis kesakitan.

"Kalau dia memang bukan untuk selamanya, jangan buat dia pergi selamanya.."

"Jangan lagi."

"Jangan ambil El!"

Tangisnya pecah. Di ruang yang sedang begitu sepi, Juliet tidak dapat menahan kekhawatirannya lagi. Dia tak tahu apa bisa dia benar-benar akan membiarkan Rafael menetap di kehidupannya. Meski sejak awal Juliet tidak mau membiarkan laki-laki periang itu menjadi penyelamatnya. Entah dari bahaya, rasa bersalah, atau sekedar sepi.

"Jangan pergi, El.."

"Julie?"

Bad Juliet?Where stories live. Discover now