"Apa masih tidur, ya?"

"Ah, gak mungkin. Dia kayaknya lebih suka bangun pagi dibanding gue."

Kali ini Juliet malah bicara sendiri, mulai membuat berbagai dugaan sebab Rafael tidak menjawab panggilannya. Shania jadi senyam-senyum sendiri melihat tingkah Juliet yang mendadak begitu cerewet seperti ini. Kapan lagi melihat Juliet dingin mendadak mengkhawatirkan seseorang?

"Kayaknya suasana hati lo emang lagi bagus. Gak tega ngomongin berita yang mungkin emang gak sepenting itu juga buat lo," gumam Shania, samar-samar didengar oleh Juliet.

"Lo ngomong apaan, Shan?" tanya Juliet sembari memasukkan kembali buku-buku pelajarannya ke dalam tas.

"Lo mau ngapain sekarang?" tanya Shania, meski dia mungkin sudah menduga apa yang akan dilakukan Juliet.

"Kayak lo gak tau aja."

Tuh, kan? Juliet mau bolos lagi.

"Percuma," ujar Shania, sudah siap untuk menyampaikan informasi paling hangat dan mungkin bisa jadi kisah horor Citra Bangsa di masa depan nanti.

"Hari ini sekolah cuma sampai jam istirahat aja. Palingan juga gak ada guru yang masuk hari ini."

"Ya makanya gue mau pulang duluan aja," ucap Juliet, kini mengambil salad yang sempat ditaruhnya di laci meja Rafael.

"Lo gak penasaran kenapa kita pulang cepat?" tanya Shania, tidak jadi menunda berita tersebut.

"Rapat guru? Ultah sekolah udah dekat? Ada perayaan spesial? I don't care, Shan!" celetuk Juliet.

Dia akhirnya berdiri dari kursinya, menenteng ranselnya kembali, sudah bersiap untuk beranjak pergi dari Citra Bangsa. Namun baru saja ingin pamit ke Shania, mata gadis itu melihat ke arah tiga ambulans yang terparkir di lapangan dari jendela kelasnya. Benar. Juliet baru sadar suasana tampak lebih ramai namun suram dari biasanya.

"Ada yang sakit, Shan?" tanya Juliet, bingung.

"Tiga serangkai tewas bunuh diri di gudang sekolah kita, Jul."

Deg.

Pikiran Juliet seketika berubah kacau, hari baiknya mungkin tidak dapat diselamatkan lagi. Terutama saat sosok yang pernah dia selamatkan dari tiga serangkai itu tampak berdiri dari pinggir lapangan sambil tersenyum samar. Rafael tidak ada hubungannya dengan peristiwa mengerikan ini, kan?

***

Mobil Juliet berhenti tepat di depan area apartemen yang ditempati Rafael. Segera dia masuk ke apartemen tersebut, mencari tempat Rafael. Sorot matanya cukup serius. Dia sedang menenangkan dirinya, tidak mau berpikir banyak apalagi mengait-ngaitkan Rafael, Cikita, dan kematian tiga serangkai itu. Lagipula telponan semalam tidak menunjukkan tanda-tanda Rafael berada dalam bahaya atau semacamnya. Mungkin saja laki-laki itu hanya tertidur pulas atau sedang sakit? Ya, Juliet dapat mengetahui hal itu kalau Rafael membuka pintu apartemennya. Namun tidak ada respon apapun bahkan setelah beberapa kali Juliet memencet bel yang ada di situ.

"El?"

"Bangun, El!!"

"Ini gue, Juliet! Bukain pintunya!!"

"El!"

Bahkan setelah Juliet beralih mengetuk pintu, tidak ada tanda-tanda respon dari Rafael. Ingin sekali dia mendobrak pintu itu, namun tidak mungkin juga dia membuat keributan seperti itu. Apalagi masih ada satu tempat yang bisa memastikan keberadaan Rafael.

Cepat-cepat Juliet kembali ke mobilnya. Jarak ke tempat itu lebih jauh dari apartemen Rafael namun Juliet tidak mementingkan jarak sekarang. Bahkan siang hampir berganti sore kalau Juliet tidak membawa cepat mobilnya. Hingga akhirnya dia sampai di gedung tua itu. Tidak perlu berlama-lama, Juliet turun dari mobil, tentu saja masih dengan seragam sekolah. Dia mulai menaiki tangga demi tangga, hingga akhirnya dia tiba di depan sebuah pintu besi yang sudah tidak asing lagi baginya. Dengan napas yang terengah-engah, Juliet mulai mengetuk pintu itu.

Bad Juliet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang