Dua Puluh Empat|Waktu

Mulai dari awal
                                    

       Anya menoleh, menatapku tepat pada manik mata. Mau tak mau aku juga menatapnya, tidak lucu jika kali ini aku menunduk dan malah menatap sepatuku. lagi. 

     Lama Anya diam, hingga kami cuma saling menatap.

      Lalu tanpa niat, tanpa sengaja, bibirku mengulum senyum. Dan itu alasan kenapa mataku terus mengalih-ngalihkan pandangan ke mana-mana, menghindari manik mata Anya.

      Aku buru-buru membentuk bibirku menjadi garis tipis lalu mengubah ekspresiku agar lebih normal, agar lebih seperti biasanya.

      Anya tersenyum hangat, "Lumayanlah."

      Aku cuma mengangguk sambil balas senyum. Dalam hati aku bersyukur berkali-kali mendengar suaranya telah kembali.  Lalu aku menghentak-hentakkan sepatuku pelan, walau terlihat tenang, otakku sedang berkerja keras mencari topik pembicaraan.

      Ini kali pertama aku benar-benar kehilangan semua image yang kubangun di depan seseorang. Tidak pernah kubayangkan orang itu akan menjadi Anya.

      Hening lama sekali. Sampai detik-detik jarum jam dinding di dekat nakas ruangan terdengar jelas, beradu dengan sepatuku yang menghentak pelan, dan jari-jari Anya yang memainkan ujung selimut.

      Lalu kemudian sebuah suara memecah keheningan.

       "Kruyuuk." Jelas sekali itu suara perut kelaparan yang berbunyi, dan suara itu bukan berasal dari perutku.

      Aku mengangkat kepala lalu menatap Anya yang sekarang berusaha menutupi wajah salah tingkahnya dengan helai-helai rambut.

      Aku menoleh ke samping, berusaha keras menahan tawa yang hendak keluar, hanya seulas senyum tipis  kutunjukkan, dan itu cukup membantu agar tawaku tidak membuncah.

        Anya melihat reaksiku dan berkata, "Yah wajarlah," ucapnya dengan suara yang mencicit seperti tikus. "Gue kan belum makan entah dari kapan, kalau gue lapar sekarang kan wajar." Ia menunduk malu, kulihat pipinya yang agak merona dari sela-sela rambutnya.

     Melihatnya seperti itu, aku tidak bisa lagi menutup rasa senang karena melihatnya sudah kembali, aku lagi-lagi mengucap syukur berkali-kali.

       "Yah emang siapa yang bilang kalau itu gak wajar?" tanyaku yang akhirnya berhasil menunjukkan wajah datar ketika tanganku menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Tapi ekspresiku kembali lagi seperti semenit lalu ketika mataku melihat Anya yang melirikku sedikit-sedikit sambil berusaha menunduk menyembunyikan semburat merah muda di pipinya. "Apa gue perlu minta suster bawain makanan buat lo?"

      Anya tidak menjawab.

       Aku mentapnya bingung, sambil mengedikkan bahu, aku bangkit dan segera berdiri untuk keluar dari ruangan.

       Baru beberapa langkah kuambil, kakiku langsung berhenti lagi sesaat setelah telingaku mendengar suara Anya yang agak lebih besar dari sebelumnya.

      "Aidan?" panggilnya.

      Aku berbalik sedikit, hingga dapat didefinisikan sebagai menoleh karena aku tidak melihat wajahnya sama sekali.

      "Hm?" gumamku.

        "Eh, g-gue gak bisa makan makanan rumah sakit," jeda. "gue pasti muntah, beneran, gue serius."

       Aku berbalik, berusaha lagi memasang ekspresi datarku yang normal seperti biasa. Lalu lagi-lagi usahaku hancur ketika mataku menangkap wajah Anya yang agak canggung campur takut campur sisa-sisa salah tingkahnya beberapa menit yang lalu.

Sketcher's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang