Dua Puluh Empat|Waktu

6K 459 20
                                    

Dear Penny,

       Dan moment hangat itu serasa tidak akan pernah berakhir. Padahal ternyata waktu membuat semuanya berjalan semakin cepat menuju perpisahan.

***

Aidan's POV

       Aku membuka mataku pelan, samar-samar kurasa rambutku bergoyang. Bukan, bukan karena ditiup angin atau pun hal lainnya. Tapi seseorang menarik-nariknya.

      Aku mengangkat kepala pelan, merasakan punggungku yang agak sedikit sakit. Penglihatanku masih buram ketika aku menyadari bahwa aku tertidur duduk dengan mengunakan dua lengan sebagai tumpuan.

       Lalu tiba waktu ketika mataku terbuka lebar begitu melirik ke atas dan mendapati seseorang yang juga memasang wajah kaget luar biasa. Dengan rambut acak-acakan yang sebagian turun menutupi kening, dengan sigap tanpa memikirkan apa pun lagi, aku segera berdiri.

      PLAK!

       Kakiku berdenyut-denyut begitu salah satu jarinya menyambar kaki kursi dengan posisi yang menyedihkan.

      "Hei!" serunya kaget.

       Dengan kaki yang setengah kram, aku segera mengarahkan jari telunjuk ke tombol merah di dekat tempat tidur.

       Sepersekian detik kemudian, dokter dan susternya membuka pintu dan menghambur masuk ke dalam ruangan.

***

        Aku menoleh terkejut ketika kulihat dokter  telah keluar dari kamar Anya beserta suster-susternya. Setelah tersenyum hangat kepadaku, aku segera menghambur masuk ke dalam ruangan itu tanpa berpikir dua kali.

        Aku benar-benar lega, senang, gugup, sedih, bersalah, semuanya campur aduk begitu tanganku memegang gagang pintu.

     Sesaat setelah membuka pintu itu, mataku menemukannya. Duduk di sana sambil memain-mainkan ujung selimutnya.

     Sadar bahwa aku sudah ada di dalam ruangan, Anya yang tadi menunduk kini mengangkat kepala lalu melihatku tepat di manik mataku.

     Melihat itu, aku menelan ludah lalu segera menunduk. Melihat responku, Anya juga ikut menunduk.

     Lalu beberapa detik kemudian di saat yang bersamaan, kami mengangkat kepala dan kembali bertukar tatap, lalu bersamaan kembali menunduk lagi.

     Gelagat kami itu bahkan terulang lagi satu kali.

     Wajahku rasanya memanas. Apa ini? Sejak kapan aku jadi begini di depan Anya?

      Begitu melihat pipi Anya yang merah dan bibirnya yang ia gigit karena gugup, aku refleks menoleh ke kiri sambil memegang belakang leherku, terus-terusan menghindari tatapannya.

      Hening sampai lima detik, hingga aku akhirnya memutuskan untuk melangkahkan kaki dan duduk di kursi samping tempat tidur Anya.

      Cewek itu diam saja sambil memandangku dengan senyum yang tidak bisa kuartikan sama sekali. 

      Aku berdeham, menunduk sambil berusaha menyiapkan kalimat-kalimatku.

      Bodoh sekali, sebelumnya aku bahkan tidak pernah berpikir sebelum mengeluarkan kalimatku di depannya.

       Aku berdeham lagi. "Em, lo udah agak  baikan?" tanyaku sambil melihat ke luar jendela, tidak berani lagi melihat wajahnya.

     Lama-lama tingkahku yang aneh secara tiba-tiba ini membuatku muak juga, tapi walaupun begitu, aku tidak bisa menahannya,  terjadi begitu saja.

Sketcher's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang