Lima Belas|Misterius

6.2K 502 27
                                    

        Dear Penny,

        Mungkin hari ini aku tahu lagi satu hal, menyukai seseorang itu kemungkinan  punya dua resiko, antara disakiti orang lain, atau menyakiti seseorang.

***

      "BUKA!" Aku terus menggedor-gedor pintu kelas yang terkunci. Aku tidak berani melihat ke belakang, gelap sudah menutupi ruangan yang penuh sesak itu. Bangku-bangku kosong yang berjejer membuat bulu kudukku merinding.

     Saat tanganku mulai perih, aku merogoh ponsel lagi. Berapa kali aku mengumpat kesal saat tahu ponsel bodoh itu sudah benar-benar mati.

      Karena pintu terlihat tidak akan terbuka bagaimana pun caranya, aku uring-uringan mengecek semua jendela. Berapa kali kuketuk, kutarik, tapi tidak ada gunanya. Kelas itu benar-benar tertutup, bahkan semua jendela terkunci dari luar.

        Aku melihat ke belakang, kugigit bibirku begitu pemandangan hitam dan suram itu memunculkan rasa panik yang menjalar. Berbagai firasat buruk sudah mulai muncul.

        Tanpa pikir panjang, aku segera memanjat meja paling ujung. Berusaha meraih celah kecil yang berupa ventilasi. Berharap menemukan orang di luar dan meminta bantuan.

       Sial sekali, tubuhku yang mungil itu tidak bisa meraihnya. Tiba-tiba, kakiku yang terus berjinjit sontak menjadi kaku dan kram. Akibatnya, keseimbanganku hilang. Meja yang kutapaki mulai bergoyang tak karuan, membuat peganganku lepas.

        BRUK!

       Aku jatuh menghantam lantai yang keras. Siku kananku membentur ubin putih itu, menyebabkan pedis yang berkelebat ke seluruh bagian lengan.

       Aku mulai meringis sembari memejamkan mata kuat-kuat, "Kampret!"

***

Aidan's POV

      Sudah sepuluh kali lebih aku melirik jam tangan, aku mulai jenuh. Lalu kuperiksa ponselku sekali lagi

"Lama amat dia!" Aku mulai menggerutu sembari mengacak-ngacak rambut dengan satu tangan. Sudah lama sekali aku duduk di atas motor, menunggu Anya yang tidak kunjung keluar. Padahal tempat parkir sudah kosong, hanya tersisa aku dan beberapa kendaraan milik guru-guru.

Aku mendengus, kira-kira sudah sekitar tiga puluh menit lebih aku menunggu di sini.

Gila sekali apabila si bengis itu menjalankan aksinya di dalam sekolah. Lagian mana mungkin, apa yang mau dia lakukan di dalam sekolah? sama saja bunuh diri melihat sekolah punya satpam dan CCTV.

Jantungku serasa mencelos begitu kulihat Pak Sukirman baru saja berjalan di depanku.

"Bapak udah selesai nyusun dokumen?" spontan, pertanyaan itu keluar dari mulutku begitu saja, bahkan aku sampai lupa bilang salam terlebih dahulu.

Merasa dipanggil, Pak Sukirman menoleh ke arahku sembari menampakkan ekspresi yang tak kalah bingung dariku. "Eh, iya. Dokumennya sudah saya susun semua, sudah dari tadi malah," jawabnya.

"Hah? Sudah dari tadi?" tanyaku terkejut. "Eh ... anu, Pak. Cewek yang tadi bantuin Bapak, masih ada di dalam, ya?" tanyaku to-the-point.

"Oh, Anya. Dia sudah keluar dari ruang guru bahkan sebelum dokumen tersusun semua, dia sudah keluar jauh lebih cepat sebelum saya," jelas Pak Sukirman. "Coba kamu cari dia di dalam, sekolah sudah gelap. Ruang guru juga sudah dikun⎯"

Penjelasan Pak Sukirman sudah tidak kupedulikan lagi. Aku buru-buru berlari ke dalam sekolah mencari Anya.

Aku berlari sekuat tenaga. Darahku serasa berdesir begitu mengingat ancaman orang itu beberapa minggu yang lalu.

Sketcher's SecretWhere stories live. Discover now