CHAPTER VII: THE RED GRAVE CAFE

287 25 1
                                    

ALDHI'S ARC

"Apa kau yakin itu serangan Sharon?"

"Tak salah lagi, hanya serangan sesama demon yang mampu melukai demon lainnya. Aku menyaksikannya sendiri, pemuda itu menyerang Daffa dengan kekuatan Demon of Lust."

"Namun bagaimana mungkin? Dia hanyalah manusia biasa, bukan ghoul!"

Suara percakapan lirih itulah yang Aldhi dengar saat ia mulai membuka matanya.

"Dimana aku?" bisik Aldhi dalam hati ketika melihat tempat yang asing itu, "Siapa mereka?"

"Ah, ia sudah bangun!" Aldhi mengenali dengan baik suara Ajeng, gadis yang tadi djumpainya. Pemuda itu langsung teringat identitas gadis itu sebagai ghoul.

"Ghoul!" teriak Aldhi sambil terbangun dan meringkuk di ranjang, "Kau seorang ghoul!!!"

Dia terpana menatap ketiga orang yang ada di sana. Ghoul-ghoul itu ... mereka tampak seperti manusia biasa. Ajeng masih tampak seperti terakhir ia ingat, gadis manis bertubuh mungil dengan raut wajah sendu. Wanita lainnya yang ada di ruangan itu berumur separuh baya dengan wajah yang tenang dan memakai apron dapur seperti ibu-ibu rumah tangga normal. Sosok ketiga di ruangan itu agak tak biasa, sebab ia berpenampilan gotik dengan tindikan dan tato di tubuhnya, serta potongan rambut yang gundul di tepinya.

"Jangan takut, kau aman di sini." ujar Ajeng, "Namun kami perlu tahu, siapa kau ini?"

"Na ... namaku Aldhi. Bukankah kau sudah tahu sebelumnya?"

"Bukan namamu, maksudmu siapa kau ini sebenarnya? Bagaimana mungkin kau bisa mengalahkan seorang Demon of Gluttony?"

"A ... aku tak tahu ... Si ... siapa kalian sebenarnya?"

"Apa kau tak mencium aromanya, Ajeng?" tanya wanita yang ada di belakangnya, "Tak ada manusia setahuku yang memiliki aroma setajam ini. Dia pasti bukan manusia biasa."

"Ya benar ..." pemuda berpenampilan gotik itu mencium udara di sekitarnya dan mulai menatap Aldhi tajam, "Baunya lezat sekali ..."

Aldhi langsung ketakutan melihat tatapan pemuda itu.

"Jangan membuatnya takut, Rangga!" seru Ajeng kesal, "Apa kau ingat apa yang terjadi padamu sebelum ini? Bagaimana dengan luka di lehermu itu? Apa yang menyebabkannya?"

"Oh ini ..." Aldhi membuka perban di lehernya, "Pada insiden di Monas aku diserang oleh ... lho ..." Aldhi keheranan ketika meraba lukanya, "Lukaku sudah sembuh?"

Ajeng juga kebingungan melihatnya, "Sama sekali tak ada bekas luka di sana."

Wanita di belakang Ajeng tampak berpikir, "Regenerasi, itu juga kemampuan ghoul. Siapa yang telah menyerangmu jika boleh tahu?"

"Entahlah ... seingatku setelah menyerangku, ia diserang oleh seseorang yang menyebut wanita itu sebagai Demon of Lust ... setelah itu aku kehilangan kesadaran ..."

"Sharon? Sharon yang mengigitmu?" Ajeng tampak terkejut, "Burung Phoenix itu ... kau menyerap kekuatannya? Bagaimana mungkin itu terjadi?"

"Entahlah." Aldhi juga tampak bingung, "Aku tak tahu ... bisa tolong jelaskan dimana aku berada saat ini?"

"Kau kini berada di Kafe Red Grave milikku," kata wanita itu, "Namaku Donna dan kau pasti sudah mengenal Ajeng, murid didikku. Sedangkan dia adalah Rangga Ilyasa, pengelola forum Suicide Club."

"Su ... Suicide Club ..." Aldhi memegangi kepalanya, "Ya ... aku ingat ... forum internet itu."

"Kita sempat bercakap-cakap, Al." kata Rangga sambil menyilangkan tangannya dan berdiri bersandar di dinding. Anting-anting dan cincin yang ia kenakan di hidung berdenting pelan ketika ia menggerakkan bibirnya untuk berbicara, "Terakhir kali kita mengobrol, kau sangat ingin mati. Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

"Forum itu ... apa tujuan kalian membuatnya? Ka ... kalian semua ghoul bukan?"

"Kami berbeda dengan ghoul lainnya, Aldhi." kata Donna dengan raut wajah yang ramah, "Kami tak pernah membunuh manusia untuk makanan kami. Kami memangsa jenazah manusia yang meninggal atas keinginan mereka sendiri. Kami hanya menunjukkan pada mereka tempatnya, dan Ajeng akan membawakan mereka dalam kondisi segar. Kami harus segera memangsa mereka, sebab kami tetaplah bukan pemakan bangkai. Namun tetap kami tekankan, kami tak pernah membunuh! Kami selalu berpikir bahwa ghoul sebenarnya bisa hidup berdampingan dengan manusia dengan damai."

"Ghoul dan manusia hidup berdampingan?" tanya Aldhi heran, "Itu ... itu sesuatu yang sangat mustahil!"

"Benarkah?" Donna tersenyum, "Ayolah keluar. Kau sudah cukup kuat untuk berjalan bukan? Akan kutunjukkan sesuatu padamu ..."

Donna keluar, diikuti oleh Ajeng dan Rangga. Rasa penasaran Aldhi pun membuatnya bangkit dari tempat tidur dan mengikuti langkah mereka.

Ia terkejut begitu keluar dan mendapati sebuah kafe dimana banyak orang tengah bercengkerama atau sekedar duduk menyesap kopi sambil membaca buku atau membuka laptop.

"Mereka ... sebagian dari mereka adalah ghoul ..." entah bagaimana, Aldhi dapat membedakan yang mana ghoul dan yang mana manusia biasa sepertinya. Kemampuan ini tak pernah ia dapatkan sebelum ia digigit oleh ghoul wanita itu.

Aldhi merasa takjub. Orang-orang ini dapat saling bergaul seperti biasa tanpa sedikitpun rasa takut. Ghoul dengan manusia duduk bersama seolah mereka tak pernah bermusuhan.

"Tentu saja para manusia ini tak tahu yang tengah mereka hadapi adalah ghoul. Jika mereka tahu, mereka akan ketakutan dan menutup diri." tambah Donna. Ia kemudian menghadap Ajeng, "Beberapa juga adalah temanmu bukan, Ajeng, dari klub sastra."

Gadis itu mengangguk.

Aldhi menoleh pula pada gadis itu. Ia tampak seperti gadis biasa yang ingin membaur dengan manusia. Tak tampak sedikitpun keganasan dalam diri gadis itu, seperti yang ia lihat saat tengah bertempur.

Apakah selama ini ia salah mengerti tentang ghoul?

Selama ini ia mengira wajah asli ghoul adalah saat mereka kelaparan, dengan taring-taring dan kekuatan mengerikan mereka. Namun bagaimana jika inilah wajah asli mereka, saat mereka berupa sama seperti manusia?

"Namun kalian tetap memangsa daging manusia bukan?" tanya Aldhi, masih dengan menyimpan sedikit rasa curiga.

"Sayangnya, itu harus kami lakukan agar kami bisa hidup." bisik Donna dengan sedih, "Tak ada yang bisa kami lakukan untuk menghilangkannya."

"Namun aku tetap tak mengerti ... apa maksud kalian, aku tengah bertransformasi menjadi seorang ghoul?"

"Kami juga tak mengerti apa yang terjadi padamu," kata Donna.

"Namun kau diterima di sini, Aldhi." sahut Ajeng, "Sebagai ucapan terima kasih setelah kami menyelamatkanku. Dan juga sebagai permintaan maaf karena hampir membuatmu bunuh diri."

Tiba-tiba perhatian semua orang tertuju ke layar televisi. Berita tentang serangan ghoul baru-baru ini selalu saja menarik perhatian semua orang.

"...berikut ini adalah pendapat dari Andieta Octaria, seorang ahli yang mulai mendalami mengenai wabah ghoul menurut sudut pandang medis ... "

"Ahli ghoul itu ..." mata Aldhi seakan tak berkedip melihatnya, "Kurasa hanya ia yang dapat membantuku."

"Baiklah jika itu menurutmu," kata Ajeng sambil menatap pemuda itu, "Akan kubantu kau menemuinya."

***

Suara kereta api yang melintas menggetarkan rel kereta api yang dilaluinya. Setelah kereta itu berlalu, tumpukan daging yang semula tercecer di rel tersebut mulai bergerak, menyatu dan menggumpal membentuk sesosok tubuh.

"Sial ..." ghoul itu bangkit dari kematiannya, dengan rupa yang tak sesempurna wujud aslinya.

"Akan kubalas mereka ...." Daffa mengembalikan bola mata yang dipungutnya dari tanah ke dalam soketnya.

TO BE CONTINUED


CITY OF GHOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang