Perlu diketahui bahwa klub mereka yang paling terkenal di se-antero Jakarta dan sekitarnya. Bagaimana tidak terkenal, The Grace selalu jadi pemenang pertama di setiap kejuaraan balap mobil. Juga, belum ada yang berani mengalahkan Juliet yang notabenenya adalah ketua mereka.

"Ya udah deh. Kalo gak ada lagi yang harus gue kerjain hari ini, gue balik duluan."

Juliet berpamitan dengan mereka. Urusannya di tempat itu sudah selesai untuk pagi ini. Lebih baik dia beranjak pergi, berencana untuk mengisi perut kosongnya.

"Eh, Jul," panggil Tian, membuat Juliet menghentikan langkahnya dan langsung menoleh ke arah Tian yang sudah siap dengan kertas mungil seperti sebuah kartu diskon.

"Apaan tuh?" tanya Juliet penasaran.

"Ambil aja Jul. Kita tau lo bolos karena khawatirin kita lagi. Jadi mumpung lo gak makai seragam, kita punya hadiah kecil buat lo, hehe," Kiki meyakinkan Juliet dan membuatnya tidak punya pilihan selain mengambil pemberian mereka. Juliet tersenyum samar menyadari hadiah kecil yang dimaksud mereka adalah kartu diskon untuk restoran cepat saji langganannya sejak beberapa bulan terakhir ini.

"Emang kalian gak ma-"

"Udah lah, Jul. Anggap aja hadiah kecil buat adik tangguh kita," seru mereka lagi, membuat Juliet geleng-geleng kepala dengan tingkah menggemaskan kawan-kawan terdekatnya sejauh ini.

"Ya udah. Thanks ya. Gue bakal langsung makai hadiah kecil kalian nih," celetuk Juliet membuat mereka mengangguk antusias.

"Hati-hati lo. Jangan sampai kena kompas," ujar mereka sekalian mengingatkan. Preman memang sedang marak-maraknya. Tapi itu bukan peringatan besar bagi Juliet.

"Gak bakal!" tutur Juliet.

Ada hiburan tersendiri bisa mengenal mereka. Setidaknya hari-hari yang dilalui Juliet tidak terlalu dramatis. Dia tidak harus merenung diri sendirian, tak tahu berbuat apa, sampai waktunya habis dan Juliet bisa mati dalam kesia-siaan. Tidak bisa konyol seperti itu.

***

Juliet sedang lahap menikmati roti lapis pesanannya di restoran langganannya dengan membayar lebih murah sebab hadiah kecil para anggota TG tadi. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Restoran sudah sangat penuh dengan banyaknya pengunjung. Dari sekian banyak pengunjung di sana, hanya Juliet yang duduk makan sendirian dengan begitu santai. Iya, lagi-lagi dia ke sana sendirian.

Beberapa tahun setelah tragedi yang merenggut sahabatnya, Juliet makin terbiasa mengandalkan dirinya sendiri. Dia bahkan tidak menyangka dia bisa pandai memikat banyaknya orang untuk mau berada dalam peredarannya. Pilihannya untuk bergabung dengan TG dan bahkan menjabat sebagai ketua klub itu bukanlah murni kebetulan semata. Dia tidak punya pilihan lagi selain menjadi magnet untuk memikat kedatangan mereka lewat ketenarannya sebagai ketua TG dan pembalap terkenal. Banyak hal yang terjadi setelah kepergian sahabatnya. Juliet setengah mati mencari tahu keberadaan mereka, dan menutupi kejadian menyakitkan itu dari perhatian media menggunakan koneksi Ayahnya. Juliet hanya tidak ingin menambah kesedihan keluarga sahabatnya, termasuk dirinya juga. Tapi sampai saat ini, Juliet tak kunjung mendapatkan titik terang untuk rencana pembalasannya.

Kacau sekali, ya? Mana mungkin juga dia bisa menjalani hidup dengan tenang setelah peristiwa kejam itu terjadi. Meskipun sesekali dia bisa tersenyum samar atau menyibukkan dirinya, Juliet tetap tidak bisa menyingkirkan keinginannya untuk balas dendam. Dia sangat merindukan sahabatnya, meskipun sesuatu yang tak mungkin jika Juliet mengharapkan kehadiran seseorang yang sudah pergi untuk selamanya itu.

"Gue duduk di sini bentaran, yah?"

Suara seseorang mendadak menghentikan kegiatan Juliet memakan roti lapisnya. Suara itu juga tidak lupa membuyarkan pikiran kalut Juliet. Dia mengarahkan pandangannya pada seseorang yang sudah berani mengganggunya saat makan. Awalnya pikiran kesal seperti itu yang muncul di benak Juliet. Tapi tidak saat dia menatap tajam seseorang itu. Air matanya entah bagaimana bisa jatuh begitu saja. Tubuhnya seakan membeku saat melihat sosok yang ternyata mengingatkan Juliet tentang yang dirindukannya selama ini.

"Lah kok lo nangis?"

Lamunannya buyar lagi. Tidak. Juliet tidak boleh menjadi lemah. Dia harus tampak tegar. Tak apa hati jadi lemah, asalkan dunia harus tahu tentang keberadaan seorang gadis yang sangat tegar itu. Juliet mencoba kembali dengan tatapan tajam nan amat sinis itu setelah bergegas mengusap air matanya.

"Gak. Cari aja meja lain. Gak usah di sini," tolak Juliet mentah-mentah.

"Gak ada lagi meja yang kosong. Adanya ya di sini doang. Lo kan sendiri, gue duduk di sini aja, oke?" Astaga, laki-laki itu tetap bersikeras ingin duduk dekat dengan Juliet. Dia belum tahu saja bagaimana sikap Juliet yang sangar itu.

"Gak bisa. Cari aja meja lain. Titik!"

"Meja lainnya gak ada."

"Kalo gitu ke tempat lain aja."

"Gak bisa. Gue kan udah pesan makanan. Lagian lo kayaknya tipikal cewek yang gak punya sahabat, kan? Buktinya lo nangis karena makan sendirian."

Tidak punya sahabat? Baiklah, kata-kata tersebut berhasil memancing emosi Juliet yang tempramental itu.

"Rasanya lo gak perlu komentarin atau asal nebak kehidupan privasi gue. Sopan dikit kalau memang lagi butuh sesuatu."

Tatapan Juliet sudah dua kali lipat lebih sinis. Tampak berbahaya jika laki-laki itu masih mau menambah emosi Juliet lagi.

"Lah gue tadi nanya lo juga dengan sopan. Lo aja yang galak amat jadi cewek."

Juliet mendesah kesal. Tak bisa diajak bicara baik-baik. Memang sangat berbeda. Tidak seharusnya Juliet hilang kendali hanya karena wajah mereka begitu mirip.

"Semerdeka lo aja deh! Silahkan duduk manis di sini, sekalian makan mejanya!" tukas Juliet dengan kesal.

Juliet akhirnya beranjak pergi dari restoran itu, tanpa memperdulikan tatapan para pengunjung lain yang menatap mereka berdua tanpa arti. Bahkan laki-laki itu terlihat tak percaya dengan respon galak gadis yang baru ditemuinya. Benar-benar aneh, begitu yang terlintas di benak laki-laki itu.

Di samping itu, pikiran Juliet dipenuhi dengan kebingungan. Juliet jadi tidak habis pikir. Kenapa bisa ada laki-laki yang punya wajah cukup mirip dengan sahabatnya? Hanya tinggi badan dan gaya rambut yang cukup membedakan keduanya. Dia juga tidak habis pikir mengingat sikapnya berbeda jauh dengan sosok itu. Setidaknya yang pernah menghampiri hidup Juliet adalah yang terbaik dan tak akan pernah terganti.

Ah, sudahlah. Juliet mau gila kalau terlalu memikirkan orang asing yang baru ditemuinya itu. Menyebalkan sekali mengingat lemahnya dia hanya karena bertemu orang asing yang mirip dengan sahabatnya. Konyol saja karena air matanya sempat jatuh begitu saja. Pernah dengar tidak bahwa yang sudah pergi selamanya itu tidak akan akan pernah mengingat apa yang ada di dunia ini lagi? Juliet sangat terpuruk jika kerap kali dia mengingat hal yang pernah dibacanya dulu. Juliet tak ingin dilupakan. Karena pada nyatanya, bukan dibenci yang paling menyakitkan. Menjadi yang terlupakan dapat menghancurkan hati yang masih terjebak di masa lalu seperti Juliet.

"Gak punya sahabat? Apa kabar dia yang datang sendirian tadi? Dasar cowok aneh!"

Rupanya ucapan laki-laki tadi memang cukup membekas di ingatan Juliet sejak dia pergi dari restoran itu. Sampai-sampai dia menjadi lebih cerewet dari biasanya, berbicara sendiri seperti gadis gila di saat dirinya sedang membawa mobil mewahnya melaju kencang di jalan raya kota. Hari yang aneh—dimulai.

------

Gimana part 1 nya, manteman??

Semoga suka ya.

Jgn lupa vomment kalian.

Terima kasihh 😊🖤

Bad Juliet?Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon