Dua Puluh Tiga|Kesalahan

Start from the beginning
                                    

       "Oh astaga!" seru Grace panik, matanya menatap nanar ke arah lantai.

      Aku dan Kira yang menyadari itu langsung melihat ke arah pandangan Grace.

       Mataku menatap nanar lantai di bawah punggung Anya itu, darah berceceran di sana. Tanpa kendali, aku memeriksa punggungnya.

      Sialan!

      Jadi ini yang membuatnya lemas, ada luka tusukan di belakang punggungnya. Darah mengalir keluar, sudah membasahi pakaian yang ia kenakan.

        Tenggorokanku sesak. Berapa kali aku menahan tubuhnya, memandangi wajahnya yang pucat pasi, jantungku serasa mau lepas ketika kulihat matanya benar-benar tertutup total.

       Di ujung mataku, dapat kulihat Kira yang hampir menangis, menempelkan ponsel di telinganya. Samar-samar kuengar ia berkata "Ambulans" sesekali. Tapi bahkan aku tidak bisa fokus mendengar apa yang ia ucapkan. Cemas yang berlebihan seperti menutup semuanya.

      "Mari sini ponsel lo!" aku hampir saja membentak Kira.

       Dengan tangan yang bergetar, cewek itu menyerakan ponselnya ke arahku. Gigiku bergemeletuk kesal kala kudengar suara laki-laki di ujung ponsel.

     "CEPAT KE SINI, BANGS*T!"

***

      Aku menutup mataku, kuusap seluruh wajahku dengan telapak tangan. Sejak tadi, aku berusaha mengatur napas, tapi sampai sekarang aku tetap tidak bisa tenang.

     Aku terduduk di kursi besi dengan wajah yang masih babak belur, rasanya luka-luka di badanku tidak bisa kurasakan. Jariku yang masih bergetar kuat bergerak mengusap pangkal hidungku.

      Pikiranku masih ke mana-mana. frustasi dan firasat buruk masih berkelebat.

      Aku mendongak, melihat tanda di atas pintu kaca di sebelah kiriku, "UGD" dengan lampu merah yang menyala di atas tanda itu, pertanda bahwa ada operasi yang sedang berlangsung.

      Aku menghela napas berat, kembali aku mengusap wajah kala kurasakan cemasku masih terus bertambah. Kuarahkan kepalaku ke depan, melihat Kira dan Grace tertidur duduk. Keduanya kelihatan acak-acakan, namun tidak terluka, untung saja. Bahkan Grace masih mengenakan pakaian cheerleader-nya

11 : 30

     Sekarang hampir tengah malam, koridor rumah sakit sudah sangat sepi. Tidak ada orang di sekitar sini, sebagian lampu bahkan sudah dimatikan. Sementara aku duduk sambil menangkup kedua tangan di wajahku saat berusaha menelan bulat-bulat rasa cemas dan khawatir, berusaha meyakinkan bahwa dia tidak apa-apa di dalam sana. 

       Aku melirik pintu kaca, sedari tadi aku berusaha melihat ke dalam, berusaha menerawang berharap menemukan Anya, melihat kondisinya. Tapi sia-sia saja, pintu kaca itu terlalu buram.

       Lamunanku buyar begitu kurasakan getaran di bagian saku celana jeans-ku. Langsung saja kumatikan ponselku begitu mendapati nama Reza tertera di sana. sudah berapa kali dia menelpon, mungkin sekitar lima belas kali namun aku enggan mengangkatnya.

      Seluruh pikiranku diisi Anya dan Anya. Apa dia merasa kesakitan? Apa dia akan selamat? Firasat buruk datang menyelubungiku, menghilangkan keyakinan penuh bahwa dia akan baik-baik saja. Alhasil aku hanya bisa duduk dan mengusap wajah.

     Drap ... Drap ... Drap...

     Suara langkah kaki cepat itu tiba-tiba bergema di sepanjang koridor. Lama kelamaan temponya semakin cepat.

      Aku bangun dari sandaran kursi, duduk tegak memperhatikan seseoang berlari menyusuri lorong rumah sakit. Sepertinya orang itu akan menuju ke sini.

Sketcher's SecretWhere stories live. Discover now