Part 31

103K 7.4K 54
                                    

Pesawat baru saja mendarat di Makassar, terpaksa aku balik lagi ke Jakarta setelah mendapat kabar dari Arya.

Aku berlari kencang melewati padatnya perawat, pasien, dan keluarga pasien yang berlalu lalang dirumah sakit ini.

Langkahku memelan saat mataku menemukan ruangan yang bertuliskan IGD di atas pintunya. Arya terlihat berdiri menyandar seraya menunduk, sementara disebelahnya kulirik Aira yang sedang menangis tersedu-sedu dalam pelukan wanita yang tak asing bagiku.

Tidak ada yang menyadari kehadiranku. Sampai seorang dokter pria dengan baju serba hijau keluar dari ruang IGD. Semua pada mendekat termasuk diriku, dokter itu terlihat santai melepas masker dan penutup kepalanya.

"Ada lumayan banyak jahitan dibagian kepalanya. Juga retak tulang bahu kanan. Berhubung pasien masih anak-anak proses penyembuhan tulangnya juga akan cepat. Tuan dan nyonya tidak perlu khawatir, pasien juga akan dipindah keruang rawat inap."

Dokter tersebut permisi lalu pegi. Menyisakan kami di sini yang berdiri dengan penuh kecanggungan. Tidak, hanya aku dan Marsha yang merasa begitu, aku bisa melihat dari sikapnya yang tidak menoleh sedikit pun ke arahku, meski dia tahu aku berada di sini. Arga dan Marsha memenuhi kepalaku. Betapa ingin aku memelukmu saat ini, Marsha.

"A—ayah..." cicit Aira. Matanya penuh dengan air mata, aku mendekat dan menghapus air matanya yang menggenang. "Ini semua salah Aira Yah. Coba aja Aira nggak tinggalin Arga main sendirian. Kalau aja Aira nggak pergi beli es krim. Padahal Ayah juga udah larang Arga makan es krim. Ayah... Ar—Arga...” suara Aira tertelan oleh tangisan/

"Bukan, bukan Aira yang salah. Ini kecelakaan, bukan karena Aira," aku mencoba menenangkan Aira.

"Ayah..." Aira menumpahkan semua tangisannya dalam dekapanku.

"Aira ayo kita pulang dulu, baju kamu juga penuh darah seperti itu," tegur Arya, dia benar, baju Aira memang penuh dengan bekas darah, baju Arya juga.

Akhirnya Aira mengangguk dan menarik diri. "Ayah, Aira pulang dulu.” Dia lalu melirik Marsha yang berdiri tak jauh dari kami. "Mama... sekali lagi maafkan Aira," ucapnya yang disambut pelukan oleh Marsha.

"Sudah mama nggak marah. Do'akan Arga biar cepat sembuh." Marsha mengelus pelan kepala Aira.

Seperti yang dikatakan dokter tadi, tak lama, Arga telah dipindah ke ruang rawat inap. Kepala dan bahu Arga diperban, lehernya juga menggunakan penyanggah. Arya sempat mengatakan kalau Arga terjatuh dari perosotan, tetapi bagaimana persis kejadian sampai membuat keadaan Arga seperti ini tidak ada yang tahu.

Aku melirik Marsha yang duduk di samping ranjang sambil terus menggenggam jemari Arga. Matanya memandang lirih kondisi Arga sekarang, begitupun dengan diriku. Tak ada sapaan yang keluar dari masing-masing mulut kami meski sudah bertahun-tahun tidak berjumpa.

Waktu berlalu. Aku masih dalam jangkauan radius tiga meter dari Marsha, terduduk disofa. Sedang Marsha, kulihat tetap tak menarik sorot matanya dari Arga. Meski aku dan dia telah berada diruangan ini lebih dari dua jam.

Pintu yang tiba-tiba terbuka menyentakku.

"Marsha, lo kok nggak bilang sih kalau anak lo masuk rumah sakit, kalau nggak Arya—Upss..." omelan Diana teman Marsha terhenti karena sebuah tepukan dipundaknya, dan kedua pasang mata itu pun beralih menatapku.

"Silakan," ucapku seraya berdiri lalu menggangguk permisi keluar ruangan. Mereka pasti butuh privasi. Jadi aku memutuskan untuk menunggu diluar.

Ternyata, dia, pria itu masih setia menemani Marsha. Apa kali ini perasaan Marsha sudah benar-benar berubah? Kali ini bukan hanya Marsha yang harus kurelakan tetapi Arga juga. Ya, akhirnya ini harus terjadi, Marsha pasti sudah menyiapkannya sebelum kembali menampakkan diri. Aku memang telah mendengar tentang rencana gugatan Marsha dari Pak Bram.

Unfinished Fate [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang