Part 2

145K 10.4K 122
                                    

Aku sudah mengabari Diana, batal ke butik tantenya. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sambil melihat-lihat ke arah pertokoan. Ah, itu ada klinik, batinku.

Aku memberhentikan mobil tepat di depan klinik tersebut.

"Ayo turun," kataku ke Arya.

"Mau ngapain?"

"Makan!  Ya berobatlah, emangnya kamu ke klinik mau ngapain kalau nggak berobat?"

"Entar aku obati sendiri aja dirumah, nggak perlu repot-repot."

"Nggak ngerepotin kok anakku sayang." Dengan suara sedikit merayu. "Ayo! kalau tidak diobati dengan benar nanti infeksi," tambahku lagi dengan nada membentak.

Dia hanya melenggang keluar dari mobil sambil mengikutiku ke dalam klinik. Aku menunggu di kursi tunggu sementara Arya sedang diobati di dalam.

Selang beberapa menit akhirnya Arya keluar dengan ditemani dokter klinik, kulihat luka-luka diwajahnya sudah diplester.

"Mbak, tolong ingatkan adik Anda untuk meminum obat ini, saya sudah menuliskan aturan meminumnya disini," kata dokter tersebut sambil memberikanku arahan.

Hari ini sudah dua orang yang mengira kalau aku adalah kakak Arya. Kali ini aku hanya mengangguk saja mengiyakan apa kata dokter, sedang malas berdebat kalau aku ini ibunya, ya meskipun ibu tiri, tapi yang jelas aku bukan kakak Arya.

"Baiklah akan saya pastikan dia meminumnya," kataku sambil tersenyum sinis ke arah Arya. Dia hanya bersikap biasa saja sepertinya memang sudah ciri khasnya bersikap tenang dan santai.

Perjalanan berlanjut. Di sampingku, Arya tampak tenang duduk di kursi penumpang. Melihat ada papan iklan pizza di pinggir jalan aku langsung meneguk ludah. Nggak ada salahnya kan sesekali? Lagi pula sudah bertahun-tahun aku absen makan makanan pedas.

“Mau ngapain lagi?” tanya Arya yang akhirnya bersuara ketika aku memutar kendaraan.

“Makan, aku lapar sekali, tadi aku langsung ke sekolahmu dan melewatkan sarapan.”

Aku berjalan lebih dulu tanpa memedulikan apakah Arya mengikutiku atau nggak. Seleraku sudah nggak bisa ditahan lagi. Setelah duduk dan memesan, pandanganku mengarah ke pengunjung lain yang tengah bersantap. Nggak lama pesananku datang, Arya duduk di hadapanku dengan pandangan menilai.  

“Dimakan!” seruku ke Arya ketika menyantap pizza yang ada di depanku dengan semangat. Aku bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku makan pizza, papa selalu melarangku memakannya.

Aku memutar bola mata. Dia sama sekali nggak makan. “Aku nggak akan menagih bayaran, tenang aja,” kataku lagi.

Arya mengendikkan bahu. “Nggak selera.”

Bibirku mengerucut. Ya sudah kalau dia nggak mau. Kuhabiskan bagianku.

"Kamu makan seperti orang kesetanan," sindir Arya sambil menyodorkan tisu ke arahku.

Aku mengambil dan mengelap sisi bibirku. Menambah saus pedas ke pizza dan kembali menyantapnya.

"Terima kasih," kataku sambil meraihnya.

Uhukk... Uhukk...

Pandangan di depan sana benar-benar membuatku tersedak. Bagaimana bisa mas Ibnu ada disini? "Bukankah itu Ayahmu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah mas Ibnu.

Hmm,” gumamnya.

"Hei, kenapa kamu malah biasa aja? Kenapa Ayahmu bisa disini?" protesku nggak jelas ke Arya.

"Tentu dia disini, dia sedang kerja," ucapnya santai.

"Apa!” mataku memelotot, aku bahkan nggak tahu pasti apa pekerjaan suamiku sendiri. Ah, aku bahkan nggak sempat berpikir pekerjaan apa yang membuat Mas Ibnu harus keliling mall begini."Ke—kenapa kamu nggak bilang dari tadi,"ucapku terbata.

Unfinished Fate [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang