11. Sad History

4.4K 714 50
                                    

Eja

Alhamdulillah ... Setiap gue udah berdoa, sedikitnya beban gue terkuras.

Eh suara apa itu?

Hah? Illy ngapain disini?

"Illy?" Mata dia melebar waktu gue panggil. Kaget mungkin. "Lo ngapain disini?"

"Euhm itu ... Apa ya? Itu loh, Li. Nggak deh, nggak apa-apa hehe," kata dia sambil nyengir innocent. Gue yakin ... Dia denger doa gue barusan. Doa sekaligus keluhan hidup gue. Arrghh!!

Serius, untuk kali ini gue kecewa sama dia. Gue bukannya nggak suka kalau dia lancang masuk kamar gue. Gue kecewa karena dia lancang ngedenger doa gue. Kenapa gue tau kalau dia denger? Kentara dari wajahnya yang tiba-tiba mandang gue dengan tatapan kasihan. Gue kecewa karena dia tau privasi gue. Gue nggak suka ketika orang bilang gue putra yang malang. Cukup sewaktu kecil aja. Ezot emang nggak bilang gitu, tapi dari wajahnya udah wakilin semua.

"Keluar lo!" Perkataan itu dengan sendirinya keluar dari mulut gue. Asli, untuk kali ini gue bener-bener nggak bisa diajak bercanda.

"Tap ... Tapi Li. Gu... gu... gue nggak maksud lancang kok maaf! Tadi gue cuman__," ucap dia gelagapan. Gue hampirin dia dengan 'anu' gue yang sakit gara-gara dia tendang. Gue raih bahunya dan mendorongnya pelan untuk keluar dari kamar gue.

BLAG!!!

"LI, MAAFIN GUE LI!! GUE NGGAK MAKSUD LANCANG SERIUS!!" teriak Ezot di luar sana. Tiba-tiba dada gue sesak karena segelibat bayangan menghampir ke otak gue.

"Papa ulang tahun hari ini. Aku harus siapin sesuatu buat dia. Semoga papa suka!" ucap gue sewaktu masih berumur 8 tahun. Dan selama 8 tahun itu, sama sekali gue nggak diliriknya. Nggak dianggap ada.

"Pita birunya mana ya?" Gue nyari-nyari pita berwarna biru waktu itu buat ngiket dan mempercantik kado yang dalemnya nggak seberapa. Cuma gambaran gue aja yang kebetulan gue suka lukis waktu itu.

Druuummm!! Deruman mobil menyeruak pendengaran bocah kecil. Dengan langkah cepat, bocah kecil itu lari ke arah luar rumah. Nyambut Papanya yang sama sekali nggak ngasih senyum sedikitpun.

"Selamat ulang tahun Papa!" lirih gue waktu Papa ngelewat gitu aja. Nggak ngehirauin gue yang tersenyum penuh sayang sama dia. Miris ... Tapi gue nggak nyerah, gue lari ngejar dia.

"Papa! Eja punya kado buat Papa. Liat dong, Pa! Pa liat, Pa!!" Papa masih jalan dan terus jalan. Sama sekali nggak nganggep gue ada.

"Papa!" Papa langsung menaiki tangga. Gue nangis pun nggak menyentuh hati dia. Dilihat dari sini, Papa tersenyum lebar ketika Reynia --adik gue-- yang waktu itu umurnya baru 6 tahun merentangkan tangannya minta digendong. Mama menenteng kue tart bulat dengan dandanan cantik. Mama ngelambaikan tangannya mengisyaratkan kalau gue disuruh ke atas. Papa mendelik dan membawa Reynia ke kamar ketika gue ngedeket ke mereka. Salah gue apa? Salah anak kecil ini apa?

"Ma ... Papa kenapa benci aku? Aku salah apa? Apa Eja nakal? Eja nyebelin ya sampai Papa nggak mau gendong Eja? Papa nggak mau liat kado dari Eja. Kenapa, Ma?" tanya gue kecil ke Mama yang memasang wajah sendu. Dia mengusap air mata yang deras membasahi pipi gue.

"Sayang ... Papa sayang kok sama kamu. Kamu jangan sedih ya. Sini mana kadonya? Nanti Mama yang kasihin sama Papa. Sekarang, kamu bobok ya. Udah jam 8 malam. Besok kan kamu sekolah."

"Eja nggak mau sekolah!"

"Kenapa? Eja harus sekolah. Banggain Papa dong sayang ... Kamu mau kan Papa gendong Eja?" Gue ngangguk ketika Mama nanya gitu.

"Nah kalau Eja mau Papa seneng, harus rajin belajar biar pinter. Ntar Papa seneng deh."

"Tapi Eja nggak mau dibully temen-temen gara-gara nggak pernah ngenalin Papa ke mereka. Mereka kan kadang dianter Papa kalau berangkat sekolah. Aku belum pernah, Ma. Aku pengen!"

"Papa kan sibuk, sayang. Sabar ya.. Nanti pasti kamu di anter Papa. Yuk!" Mama gandeng tangan gue buat ke kamar. Menidurkan gue dan ngasih selimut ke tubuh gue.

"Kenapa temen-temen aku bilang aku bocah malang terus ya. Temen-temen Mama juga."

"Ssssstt jangan dipikirin, sayang. Mama disini. Mama ada buat Eja. Eja punya Mama." Dulu gue nggak ngerti kenapa Mama nangis waktu bilang gini. Dan sekarang gue baru sadar, kalau ... hati ibu yang mana yang tega melihat anaknya dilantarkan seperti ini?

"Kenapa sih Ma. Papa benci aku kenapa?"

"Udah... Kamu tidur sayang. Papa nggak benci kamu kok!"

"Boong! Ej.. Eja.. Kan.. Cum cuma.. Mau.. Papa, Ma!" Gue nangis sesenggukan di dalam pelukan Mama gue. Dan akhirnya gue tidur sampai pagi.

Setiap hari, hidup gue menyedihkan. Sampai gue menyerah, dan gue mutusin buat ikut Kakek Nenek ke Bandung. Kepindahan gue ke sana direspons dengan antusias dan wajah senang dari Papa. Dosa apa gue?

Kakek dan Nenek menunggu di mobil ketika gue masih memeluk Mama. Enggan melepaskan.

"Eja sayang Mama. Mama baik-baik ya..."

"Iya, sayang, kamu juga. Mama bakalan kangen sama kamu." Mama nangis dan kasih gue ciuman kecil di seluruh wajah.

"Pa, Eja pergi ya..." Gue ulurin tangan buat salam. Dan syukurnya Papa nerima dengan wajah yang tetap datar. Malang ... Bocah malang.

"Tuh, Jeng. Anak itu nggak kuat kali ya. Denger-denger sih, Papanya nggak pernah nganggep dia gara-gara dia itu anak pembawa sial." Pembawa sial? Sampai sekarang bahkan gue nggak ngerti titik 'pembawa sial' gue ada dimana?

"Masa sih? Jeng tau dari mana?"

"Waktu itu, saya pernah mendengar pembicaraan Susan sama Adrian. Adrian bilang, kalau Eja nggak diinginkan di dunia ini. Ntah apa alasannya. Bocah malang." Yap! Tetangga sebelah --Bu Tiwi-- memang sedang berada di halaman rumahnya dengan bisikan-bisikan menyakitkan buat gue. Papa nggak menginginkan gue? Karena apa? Gue aja sampai sekarang masih bertanya-tanya. Makasih Bu Tiwi atas infonya.

Selama gue di Bandung, gue hidup dimanja. Gue seneng bukan main. Karena semua perhatian Kakek Nenek difokuskan buat gue. Kapan terakhir gue ngarasa special kayak gini?

Sampai bertahun-tahun dan gue sekarang udah tumbuh besar, udah tumbuh jakun juga, itu berarti gue udah dewasa. Selama gue di Bandung, Mama selalu telepon dan nyuruh gue buat ke Jakarta. Gue dengan senang hati kesana. Bagaimanapun gue kangen Mama sama Rey.

Seiring berlangsungnya waktu, Mama sering hubungin gue dengan tangisan. Lagi-lagi tangisan. Dan apa? Papa lagi. Papa lagi yang berulah. Mengkasari keduanya, Mama dan Rey. Apa gue rela? Sangat nggak rela! Dan akhirnya, gue memutuskan buat pindah lagi ke Jakarta diumur gue yang ke-18 tahun ini. Tepatnya kelas XII.

Ternyata benar, Papa sering berulah kejam. Terkadang pulang malam bahkan nggak pulang sama sekali. Dan gue jamin, kalau sekarang ada wanita simpanan di belakang Mama. Brengsek! Awas lo Adrian! Walaupun lo Papa gue, tapi rasa sakit yang selama ini gue rasain nutupin rasa hormat gue sama lo. Gue akan ngelindungi Mama dan Rey dari Si Bajingan itu. Gue janji.

Double Reza - Completed Onde as histórias ganham vida. Descobre agora