Part 26

107K 7.7K 138
                                    

Tiga Tahun Kemudian

Aku melonggarkan dasiku, lalu menggulung kemejaku hingga ke siku. Jas kerjaku telah lebih dulu tergolek di atas sofa. Mataku memindai ke seisi ruangan, rasa-rasanya baru kemarin aku melihatnya tertidur di ranjang itu, membaca atau sekedar memainkan smartphonenya. Tidak hanya ranjang. Balkon, sofa, kamar mandi, semua seisi ruangan ini, bahkan rumah ini mengingatkanku padanya.

"Ayah!" Teriakan Arga menyadarkan lamunanku, Arga berlari dengan sempoyongan kearah ku. Aku menangkap dan meraihnya ke dalam gendongan.

"Hallo, Sayang," ucapku seraya menyapu keningnya yang berkeringat.

"Kak Aila jaat!" Arga cemberut dengan mimik muka yang sangat menggemaskan. Aku mencubit pipi gembulnya, usia Arga baru menginjak tiga tahun. Belum bisa berbicara dengan lancar, masih dalam fase aktif-aktifnya.

"Kakak jahat kenapa?" tanyaku.

"Tadi Alga lagi main bongkal pasang, uda jadi, telus kaka bongkal lagi."

"Karena Arga nyusunnya nggak beraturan yah!" Aira nongol dari balik pintu. Dia sering sekali mengerjai adiknya. Alhasil Arga sering dibuat nangis oleh Aira.

"Aira... Arga kan masih kecil belum ngerti menyusun dengan benar. Harusnya kamu yang ajari Arga,” tegurku.

"Kan Aira mau susun ulang, eh.. ayah pulang. Bilang aja, Arga modus mau ngadu ke Ayah ya kan?" ucap Aira sambil menjawil pipi gembul Arga.

"Modus itu apa yah?"

Mataku mendelik menatap Aira, sementara Aira hanya garuk-garuk kepala, Arga memang selalu banyak tanya tentang apa pun itu, sebagai orangtua aku memang harus benar-benar memilih kosakata yang tepat saat berbicara di depan Arga.

"Um..., itu sejenis makanan, iya kan yah?" Aku hanya geleng-geleng dengan jawaban Aira.

"Makan..! Yey! Alga mau makan, Yah. Makan modus." Kuhela napas, sudah kutebak ini yang akan terjadi.

"Itu bukan makanan Arga... Kak Aira cuma asal bicara. Sekarang kita makan yang lain aja, ya. Makan nasi pake sayur."

"Hmpp..." Arga langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil mengeleng-gelengkan kepalanya saat aku bilang akan makan nasi pake sayur.

"Iya... Ayah benar... kan kemarin kita baru liat Popeye. Popeye makan bayam biar kuat," imbuh Aira

"Alga nggak suka sayul... pait... wuekk."

"Ih..., enak tahu! Kakak aja suka. Ayah juga. Bang Arya apalagi," bujuk Aira.

"Iya sayang. Yang dibilang Kak Aira benar, nanti Arga nggak bisa kuat kayak Popeye kalau nggak makan sayur."

"Nggak!!" Arga menyembunyikan kepalanya dibalik bahuku sambil meronta mengeleng-gelengkan kepalanya. "Pait Alga nggak suka! Nggak mau...!!"

Aku menghela napas panjang. Paling susah membujuk Arga untuk mau makan sayur. Arya yang selalu jadi panutannya pun tak pernah mampu membujuknya.

"Ya sudah... ya sudah... Arga turun kebawah dulu ya sama Kak Aira. Ayah mau mandi dulu."

Aku menurunkan Arga dari gendonganku. Terlihat Aira dengan sigap mengambil tangan Arga dan membawanya.

Hari ini sejujurnya sangat melelahkan bagiku. Pagi-pagi sekali aku harus terbang ke Bali karena ada peresmian cabang Marco Departement Store di sana dan setengah hari sore aku harus balik lagi ke Jakarta. Meski Niko dan Friska memaksaku untuk menginap, aku tetap tak bisa, aku merasa berat harus meninggalkan Arga meski hanya sehari. Aku takut Arga akan menangis ketika dia bangun dan aku tak ada disampingnya.

Unfinished Fate [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang