Selanjutnya, mereka membantuku bangkit. Arya mendorong kursi roda, sementara Aira dan Dokter Karina berjalan mendampingi. Tak kulihat batang hidung Mas Ibnu, padahal tadi dia yang melihatku tersadar, kemana perginya dia? Apa dia tak ingin melihatku? tapi kenapa dia menungguiku?

"Itu lihatlah, anakmu masih sangat kecil, tapi beberapa bulan lagi tubuhnya akan normal seperti bayi lainnya, kamu nggak usah khawatir, jangan dibawa pikiran." Dokter Karina menunjuk ke arah box bayi yang dikelilingi oleh alat inkubator.

Arya yang memapahku berdiri sekarang aku bisa melihatnya. Kami berada di luar ruangan yang dilapisi kaca. Seketika air mataku menetes, aku begitu terharu melihatnya yang begitu kecil tidur dengan nyaman. Benar kata Aira bayiku sangat mirip denganku.

Selamat datang my baby boy, ini mama mu nak. 

***

Aku berhasil mendorong sendiri kursi roda sampai ke depan ruang inkubator. Aku ingin bertemu kembali dengan anakku meski ini masih sangat pagi, tadi malam dokter Karina telah melepas infus ditanganku. Kuakui tubuhku masih lemah, namun entah kekuatan darimana aku mampu mengerakkan kursi roda sampai ke sini. Beruntung perawat telah menyibahkan tirai jadi, aku bisa melihatnya, meski dari kejauhan.

"Sudah kuduga kamu ada disini.”

Seketika aku menoleh ke belakang mencari asal sumber suara tersebut.

"Rangga!" pekikku.

Ketika dia mendekat. Aku segera menjatuhkan tubuhku pada pelukan Rangga, karena kakiku yang belum siap menopang tubuhku sendiri dan Rangga pun dengan tangkas menangkap tubuhku. Ini pertama kalinya kami bertemu kembali setelah kejadian tak mengenakkan dulu.

“Setelah ini aku pasti akan melapor pada perawat yang menjagamu karena memaksa keluar seperti ini,” ucapan Rangga pasti merujuk diriku yang memaksa berdiri untuk melihat bayiku, rasa kebas disekujur tubuhku tak menjadi penghalang untukku bisa kembali melihat bayiku.

Aku hanya cemberut menanggapi ucapannya.

"Selamat ya."

"Makasih."

"Yang itu bayimu."

"Iya."

"Sangat cantik," sontak aku memukul lengannya. "Dia laki-laki seharusnya kamu bilang tampan bukan cantik."

"Tapi, dia sangat mirip denganmu, jadinya cantik." Rangga kembali menempatkan diriku di atas kursi roda.

"Nggak Rangga... dia tampan." Aku memasang ekspresi cemberut tak terima dengan sebutan Rangga.

"Baiklah, dia tampan."

"Aku sudah beberapa kali ke sini, tapi kamu belum sadar, dan hari ini aku kembali ke sini tak kusangka kamu nggak ada di kamar. Jadi, aku inisiatif ke sini, ternyata benar kamu ada disini. Aku bersyukur kamu dan bayimu selamat Marsha."

"Aku juga merasa begitu, aku tak bisa berkutik saat melihat darah yang mengalir di kakiku, kukira aku nggak akan kembali terbangun setelah itu."

"Kamu sudah memberikannya nama?"

"Hm... aku belum memikirkannya."

"Mungkin kamu harus mengkompromikannya dengan suamimu."

Apakah mas Ibnu telah menyiapkan nama untuk bayiku? batinku.

Aku menarik lengan Rangga. “Aku ingin melihatnya lagi.”

Rangga tersenyum dan merengkuh pundakku. Dia mengacak rambutku, sedangkan aku masih terpana melihat bayiku. Buah hatiku.

Unfinished Fate [TERBIT]Where stories live. Discover now