[ End ]

6.5K 591 70
                                    

Kata-kata Tama telak membuat Thaya tersentak dan membesarkan matanya sedikit. Benarkah?

Tama mengganti posisinya. Ia menaruh gitarnya di atas kasurnya. Kali ini, ia menatap lurus layar laptopnya yang menampilkan wajah mantan adik tirinya yang kini adalah satu-satunya orang yang akan terus menjadi alasan ia membatalkan segala acara di tanggal empat belas Juni.

"Ada yang lagi lo pikirin? Gue yakin gitu." Ujar Tama sembari mengedikkan bahunya.

Thaya mendesah panjang sampai ia mengusap wajahnya. Ia tidak ingin terlihat seperti Thaya yang dulu merelakannya pergi ke bandara. Ia tidak ingin terlihat sesedih itu.

Tapi, itu kenyataannya.

"Ya? Belum mati 'kan?" Tama memiringkan kepalanya menatap Thaya.

"Perlu nggak sih kita ngobrol? I mean... real talk." Thaya memejamkan matanya seraya mengucapkan kata terakhirnya.

Thaya yakin, raut wajah Tama berubah saat itu juga. "Kenapa enggak?"

Dengan tatapan lurus, Thaya melontarkan pertanyaan yang hampir serupa dengan pertanyaan dasar fisika. "Menurut lo, jarak itu apa sih?"

Tama bergerak menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi. "Jarak? Menurut gue ya panjang yang nentuin jarak satu benda ke benda yang lain." Jawabnya ringan, meski ia tahu pokok itu bukan lah hal ringan.

"Lo sadar nggak sih? Kita sangat bermasalah sama kata itu?" Tanya Thaya.

Tama diam. Ia tidak ingin membahas ini. Jujur. Namun, apa boleh buat jika hal itu juga yang menganggu pikirannya beberapa tahun belakangan?

"Sejak pertama kali kita ketemu, kita tau jarak itu udah ada, Tam. Tapi, masing-masing dari kita sama sama berusaha buat yakin kalau jarak itu nggak ada." Jeda. "Tapi pasti ada. Nggak mungkin, nggak ada jarak antara kakak dan adik.

"Kita sempat dapat masa dimana, jarak itu nggak ada. Tapi... tapi rasanya cuma dalam hitungan detik, ada jarak baru yang jauh lebih jelas dibanding sebelumnya." Ucap Thaya tanpa jeda. "Sejak lo pergi, jaraknya semakin jelas. Kalau sebenernya, kita itu jauh banget.

"Lo bukan lagi, Tama yang jaraknya cuma dua pintu dari kamar gue."

Kata-kata Thaya seakan menghilangkan kebungkaman Tama saat itu juga. "Kapan lo bisa berhenti mikir gitu, Ya? Semuanya baik-baik aja. Ngg–"

"Ini yang lo maksud baik-baik aja? Ngobrol lima menit doang seminggu? Dan, ngobrol seharian penuh satu hari tiap satu tahun sekali?" Potongnya langsung.

"Kenapa lo mikirnya gitu? Bukan gue doang yang sibuk. Lo juga, Ya." Elak Tama.

"Karena itu," Thaya menghembuskan nafasnya. "Itu jarak yang sebenernya kita buat sendiri, tanpa peta. Ini bukan jarak yang ngukur jauhnya Jakarta-Melbourne. Tapi–" Ingin Thaya melanjutkan, namun lidahnya seakan membeku seketika. Entah ada tarikan apa dalam tubuhhnya, yang berusaha untuk membuatnya berhenti bicara dan tidak memperpanjang masalah.

Namun, masalah ini sudah terlalu panjang.

"Tapi jarak hubungan ini sendiri. Bener?" Lanjut Tama seakan ini merupakan soal isian pada saat ujian. Dan, jawaban Tama mendapat poin besar kali ini.

Samar-samar, Thaya mengangguk pelan. "Gue nggak akan nangis kayak dulu buat maksa lo biar nggak pergi. Karena kalau sekarang gue ngelakuin itu, lo udah terlanpau jauh pergi. Jadi gue nggak tau apa yang harus gue tahan." Meski kini matanya mulai terasa panas.

"Gue nggak pernah maksud buat bikin jarak itu ada, Ya." Ucap Tama sembari perlahan menghembuskan nafasnya yang berat.

Thaya menggeleng. "Bukan lo aja, Tam. Gue juga." Jeda. "Mungkin gue salah gue nerima lo waktu itu. Salah karena, gue harus bosen sama acara itu."

Brought It To An EndWhere stories live. Discover now