7 - Sunyi

39.3K 3K 244
                                    

Gue memandangi kursi di samping gue lama.

Kosong.

Nggak ada kicauan dari si maha bawel Rengginang.

Itu anak ke mana sih? Nggak ada kabar sama sekali.

Oh iya gue lupa cerita. Jadi, apa yang telah dirahasiakan Bang Bisma dan Teteh gue setelah diskusi bersama Bu Ratna itu adalah ini.

Salah satu dari kita emang nggak jadi pindah kelas. Namun, kita HARUS menjadi teman sebangku.

AMAJING BANGET CUY.

Ya kalian bisa bayangkan bagaimana tidak terimanya gue sama Rengginang pada awalnya. Namun, titah paduka ratu Bu Ratna tidak bisa dibantah sama sekali bagaimanapun caranya.
Apalah daya dan upaya yang dapat kami lakukan. Kami harus dapat menerima ini dengan ikhlas dan lapang dada yang setidaknya sampai kenaikan kelas nanti.

Malahan ya, Shandy nggak liat gue lagi sama sekali setelah dia tau bakal sebangku sama Arlyn.

Mereka keliatannya sangat berbahagia bisa sebangku bareng.

Sungguh tega kau Shandy.
Aku merasa telah kau campakan.

Tsaaah. Becanda deng. Emangnya gue maho?

Lagian tuh ya hobi gue menjaili Rengginang jadi sangat tersalurkan. Gue juga nggak pernah ngantuk saat pelajaran kalo lagi sama dia. Buahaha.

Tapi sekarang ini bocah lagi tidak ada di tempat.

Apa dia sakit?
Kok gue jadi merasa khawatir ya?

Wajar aja kan kalau gue khawatir. Gue kan rekan sebangkunya.

Gue menghiraukan tugas yang dikasih Mr. Agus yang nggak bisa masuk karena sibuk. Halah, gue yakin paling juga bakal jadi pekerjaan rumah, soalnya nggak ada kalimat wajib dikumpul sekarang.

Gue beranjak dari kursi dan melesat ke deretan bangku depan. Berhenti di depan meja dengan seorang cewek di balik meja itu yang keliatannya sibuk banget ngeliatin kamus dan bukunya secara bergantian. Dia kemudian menengadahkan kepala untuk melihat muka gue yang udah nangkring di depannya dengan ganteng.

"Apaan?" Dia cuman menatap muka gue secara kilat dan kembali sibuk dengan tugas dari Mr. Agus itu.

"Temen lo mana sih, Lyn. Kenapa nggak masuk?" tanya gue to the point.

Arlyn melepaskan pulpennya dan kembali menatap gue.

"Dion. Lo udah nanya itu jutaan kali ya. Harusnya lo dong yang cari tau, lo kan temen sebangkunya," rutut cewek itu panjang.

"Yaa, lo kan sohibnya," sahut gue cepat.

Arlyn menghela napas.

"Dia nggak balas chat gue. Gue sms nggak balas. Gue telfon nggak aktif. Tapi itu tadi sih pas jam pelajaran pertama. Sekarang lo gih hubungin dia kali aja dibales."

"Iya iya deh, Ndoro," gue mencibir.

"Ngemeng-ngemeng mana si Shandy? tumben-tumbenan ngilang. Biasanya juga nempel mulu lo pada," kata gue sambil memainkan kotak pensil milik Arlyn.

"Toilet. Boker katanya. Kemaren malem kebanyakan makan sambel. Udah tau nggak tahan pedes masih aja diembat. Bebal banget jadi manusia. Tuh bocah nggak sayang apa sama badannya? Kalo sakit siapa juga yang repot? Oon banget kan?" kata Arlyn ngedumel nggak jelas tanpa beralih dari pekerjaannya.

"Oon-oon begitu kan lo sayang, Lyn," celetuk gue.

"Iya untung gue sayang, ehhh---" Arlyn kemudian menampar mulutnya sendiri. Keliatan banget lagi salah tingkah. Pipi dia pun merona merah jambu.

Fangirl Enemy [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang