Part 17

108K 8.2K 62
                                    

Aku mengerjapkan mataku berulang kali. Penglihatanku tak salah, kali ini dia di sini, tidak seperti sebelum-sebelumnya, hanya ada ranjangnya yang kosong. Aku memandangi Mas Ibnu yang masih terlelap. Tanganku mengulur, menyentuh setiap lekuk wajahnya. Sentuhanku membuatnya menggeliat dalam tidurnya, pelan-pelan Mas Ibnu membuka matanya.

"Kamu sudah bangun, lama?" pertanyaan pertamanya di pagi ini.

Aku menggeleng. Mas Ibnu menyingkirkan rambut-rambut yang menutupi wajahku. "Hari ini ada kuliah?"

Aku mengangguk. "Hari ini ada ujian."

Kubenamkan wajahku ke dada telanjangnya, "Mas."

"Hm."

"Maaf, soal—“

"Bisa kita tidak usah kita bahas lagi masalah itu?" tanya Mas Ibnu dengan sorot serius.  

Aku bingung, tak tahu harus menjawab apa. Tapi, masih ada yang mengganjal di hatiku.

“Marsha,” sebut Mas Ibnu lagi.

Aku mengangguk, Mas Ibnu mengeratkan dekapannya. Kami berpelukan dengan tubuh polos dibalik selimut yang menutupi. Mau sampai kapan kami dalam posisi begini, batinku. Rasanya malas beraktifitas, kalau tidak memikirkan ada ujian, aku ingin dalam dekapan Mas Ibnu seharian.

“Tidak berniat bangun? Katanya ada ujian?”

“Mas sendiri nggak bangun.”

Mas Ibnu melonggarkan pelukannya. “Saya—kemungkinan lembur lagi malam ini.”

Keningku mengerut tak suka. Yang pertama karena dia terus-terusan tidak punya waktu di rumah. Dan yang kedua, karena ucapannya masih terdengar seperti orang asing.

“Tidak lama lagi—“ ucapannya menggantung. “Akan selesai. Semuanya.”

Aku semakin tidak mengerti apa yang diucapkannya. “Hmm..” gumamku cemberut. “Mas nggak akan dengarkan kata-kataku, jadi percuma aja aku—“

“Marsha... bukan begitu—“

“Aku tetap akan marah kecuali...”

“Kecuali?”

“Kecuali, Mas berhenti memanggil diri Mas dengan sebutan Saya. Itu terdengar sangat asing. Mas sengaja menjaga jarak begitukan?”

Mas Ibnu memandangiku lekat sebelum mengecup dahiku lama. Aku terhenyak dengan senyum perlahan melengkung. Ini, hubungan timbal-balik yang kuidamkan.

“Baiklah, kamu ingin sa—aku bagaimana?”

Aku mencebik, “sepertinya... aku bosan menyetir sendiri.”

Telapak tangan Mas Ibnu terasa mengelusi punggungku. “Aku akan mengantarmu setiap hari, tapi pulangnya harus di jemput. Jangan pulang dengan yang lain. Bagaimana?”

Kuanggukkan kepalaku sebelum menerima pangutannya kembali.

***

Aku terus menyunggingkan senyumanku. Kami sepakat untuk tidak membahas kejadian ruang bawah tanah lagi. Meskipun Mas Ibnu tidak menjelaskannya secara gamblang dia hanya memintaku untuk melupakan dan tidak kembali ke ruang bawah tanah itu lagi. Aku menurutinya, mungkin Mas Ibnu ada benarnya mengingat-ingat kenangan masa lalu tidak ada gunanya karena kami hidup pada masa sekarang.

Meskipun, sikap mas Ibnu tetap dingin, namun aku masih bisa merasakan kelembutan yang dia berikan lewat bahasa tubuhnya. Atau mungkin pada dasarnya Mas Ibnu memang pendiam? Kali ini aku hanya perlu menunggu mas Ibnu untuk membuka hatinya untukku dan saling berbagi layaknya pasangan pada umumnya.

Belakangan hari ini mood-ku kembali membaik. Aku harus berusaha memahami sikap Mas Ibnu meskipun ini tak mudah. Aku harus bersikap lebih dewasa menghadapi masalah rumah tangga. Dikala waktu senggang aku sering menghabiskan waktu belajar masak dengan Bi Nah. Walau awalnya Bi Nah terus menolak karena tak seharusnya aku berada di dapur, begitu katanya.

Arya dan Aira sering terheran-heran dengan perubahan sikapku yang mendadak, sementara mas Ibnu hanya bersikap biasa saja.

Aku kembali membuka oven dan melihat kue yang selesai kupanggang. Kali ini bentuknya lumayan. Ini percobaanku yang entah ke berapa kali, setelah berhasil memporak-porandakan dapur. Sekarang, melihat tutorial masakan lebih menyenangkan daripada tutorial make up. Tata cara yang kulihat sering kali terlihat mudah, ternyata setelah dipraktekkan sangat sulit. Bi Nah beberapa kali menawarkan bantuan, namun aku selalu menolak.

Aku membawa brownies hasil percobaan terbaikku ke ruang kerja Mas Ibnu. Kulihat dia masih sibuk dengan tumpukan file dengan kaca mata kerja yang bertengger. Aku membuka pelan-pelan pintu agar tidak mengganggu perhatiannya, berjalan berjingkat sedikit demi sedikit.

"Jika dengan begitu kamu bisa mengagetkanku maka kamu salah besar, Marsha," ucapnya dengan pandangan yang tidak teralihkan dari laptopnya.

Bibirku langsung manyun. "Aku nggak bermaksud mengagetkan Mas."

"Lalu, kenapa kamu berjalan mengendap-endap begitu?"

"Aku hanya nggak mau ganggu mas."

Mas Ibnu melepas kaca matanya dan memutar kursinya menatap k earahku. "Kamu mau membuatku menjadi kelinci percobaan lagi, hm?" Perkataan mas Ibnu pasti merujuk pada brownies yang kubawa kali ini.

"Ya, kalau bukan mas siapa lagi? Arya akan menutup kembali pintunya sebelum kutawarkan, sementara Aira dan Bi Nah sama sekali tidak objektif penilaiannya."

Mas Ibnu tersenyum kecil mendengar jawabanku. Aku mendekat ke mas Ibnu dan mengambil potongan kecil brownies lalu kumasukkan ke mulutnya yang terbuka setengah terpaksa.

Dia mengunyah pelan dengan wajah tampak berpikir. Aku penasaran dengan hasil masakanku kali ini. Apakah ini sesuai dengan seleranya?

"Sedikit kurang manis," ucap mas Ibnu setelah selesai mengunyahnya.

Aku memasang tampang cemberut karna lagi-lagi aku gagal.

Mas Ibnu meletakkan piring kecilku diatas meja, lalu menarik tubuhku ke pangkuannya. Aku terkesiap karena tiba-tiba Mas Ibnu melumat bibirku tanpa bisa kuimbangi permainannya.

"Dengan begini jadi lebih manis," ucapnya setelah melepaskan pangutan kami. Jarak wajah kami begitu dekat pipiku bersemu merah. Aku dilanda gugup. Padahal kami sering kali melakukan yang lebih dari ini, namun tetap saja aku selalu malu dan gugup.

"Kamu tampak lebih manis ketika malu-malu seperti ini," ucapnya lagi sambil membelai bibir dan pipiku dengan lembut. Membuat pipiku semakin semerah tomat pastinya.

Aku mengalihkan pandangan, malu. “Kapan pekerjaan Mas ini selesai?”

“Sebentar lagi.”

Aku menarik tangan Mas Ibnu, mengurut cincin pernikahan kami di jemarinya. “Apa perasaan Mas saat memakainya?” Ini adalah hal yang paling membuatku penasaran, hingga sekarang dia belum pernah menyatakan cintanya, atau minimal mengungkapkan isi hatinya yang lain kepadaku.

“Menurutmu?”

“Aku tanya, kenapa Mas balik tanya?” Aku melirik bola matanya. “Terpaksa, begitukan?”

“Iya.” Jantungku berdetak putus-putus. “Tapi sekarang tidak lagi,” sambungnya mengecup pipiku.

-TBC-



Unfinished Fate [TERBIT]Where stories live. Discover now