***

Aku mengajak Aira ke pertokoan langgananku, yang khusus menjual barang-barang bermerk. Aku membutuhkan dress dan aksesoris untuk Aira. Aira harus tampil cantik malam ini, aku juga nggak yakin Aira gaun branded di lemarinya. Setidaknya, gadis itu harus punya satu. Kali ini aku akan membelikannya untuk Aira.

"Ayo!" ajakku.

"Ngapain kita kesini?" ucapnya heran.

"Beli baju buat kamu."

"Mbak Marsha sudah lama tidak kesini?" Sapa langsung seorang manager toko yang mengenaliku.

"Iya, sibuk akhir-akhir ini," jawabku beralasan seadanya. "Mbak carikan baju buat—“ Aku menarik Aira. “Gadis ini.”

"Oh, ada beberapa keluaran terbaru, sebentar." Manager wanita tersebut menyodorkan beberapa koleksinya, cantik-cantik aku suka desainnya. Ditambah, warnanya yang soft.

"Ra, kamu coba ini ya?"

Aira mengikuti kata-kataku dan mencobanya dikamar ganti.

"Lho Ra, kenapa belum ganti?" ucapku heran karena Aira keluar lagi dengan baju sekolahnya lagi.

"Ini," dia menunjukkan label harga ke arahku. "Ini mahal banget Sha, nanti Ayah marah," ucapnya setengah berbisik.

Aku tersenyum simpul. "Kalau nggak mikirin harga, kamu suka nggak sama baju ini?" tanyaku, dan Aira hanya mengangguk.

Aku menarik lengan Aira. "Mbak ambil yang ini ya, sekalian carikan sepatunya," kataku kepada manager tadi.

Sekarang giliran Aira yang menarik lenganku. "Gila kamu Sha! Itukan mahal banget, apa nggak apa-apa?"

"Belinya pakai uang aku, bukan uang Ayahmu. Jadi, nggak bakal kena marah. Oke?" kataku berusaha meyakinkan Aira.

Setelah selesai berbelanja kami langsung menuju rumahku. Rumah papa. Rumah penuh kenangan. Aku hanya melihat Aira terbengong ketika kami sudah sampai di depan rumah. Inilah kediaman keluarga Adinata yang sekarang sudah ditinggal pergi para penghuninya. Hanya ada beberapa orang yang ditugaskan untuk menjaga rumah.

"Ayo!" lagi-lagi aku harus menarik tangan Aira.

"Wahh... ini beneran rumah kamu Sha?" ucapnya terkagum-kagum.

Aku mengangguk, menatap setiap inci sudut rumah ini. Nggak ada yang berubah, tetap bersih dan penuh dengan kenangan. Di sini aku menghabiskan masa kecilku hingga aku beranjak dewasa. Menghabiskan waktu dengan papa, dan Kak Angga. Papa adalah seorang pria yang setia, pria yang luar biasa, dia bahkan nggak berniat menikah lagi ketika ditinggal mama.

Titik-titik air terasa menggenang dipelupuk mataku. Mengenang semua kenangan indah bersama keluargaku. Aku sangat menyayangi papa, dia teman, sahabat juga pelindung bagiku. Aku ingat bagaimana papa mendengarkan setiap ceritaku, mengecup keningku, membacakan cerita ketika aku tidak bisa tidur meskipun usiaku bukan kanak-kanak lagi tapi papa tetap membacakan dongeng dan aku tetap mendengarkannya walaupun papa sudah menceritakannya ratusan kali.

Papa bahkan tidak pernah bercerita tentang sakit ginjal yang dideritanya, dia selalu tampil ceria saat bersamaku, aku baru mengetahui penyakit papa seminggu sebelum kepergiannya. Setiap hari aku menemani papa di rumah sakit, selalu berada disisinya sampai ajal memanggilnya. Bahkan selama dua hari setelah kematian papa aku tidak berhenti menangis di pemakaman papa, kakak Angga ku sibuk membujukku agar mau pulang tapi aku tidak bisa meninggalkan papa sendirian.

Sampai sepasang tangan mengangkatku dan merengkuhku dalam pelukannya, “Dia akan sedih jika kamu terus bersedih dan hal yang paling dibenci oleh seorang ayah adalah melihat anaknya bersedih, jangan lakukan ini padanya, dia pasti akan membenci dirinya sendiri.”  Kata-kata itu, aku masih mengingatnya dengan jelas. Itu ketiga kalinya aku bertemu dengannya, Mas Ibnu.

Unfinished Fate [TERBIT]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum