Part 3

132K 9.5K 126
                                    

“Ki—ta mau kemana?” tanyaku dengan bodohnya sambil meremas paha yang masih berbalut baju tidur.

“Klinik terdekat,” sahut Mas Ibnu singkat.

“Aku cuma butuh obat men—“ kugigit bibirku, memalukan, ini sangat memalukan.

“Sampai lemas begitu. Pasti terjadi sesuatu. Makan apa tadi? Kamu kebanyakan makan saus iya kan?” tebaknya.

Kugigit bibir dalamku, lilitan perut ini enggan mereda. Aku nggak sanggup membalas perkataan Mas Ibnu yang kubutuhkan sekarang toilet. Begitu Mas Ibnu membelokkan mobilnya rasa mulas semakin merebak. Mesin mobil dimatikan aku segera membuka pintu mobil. Panggilan Mas Ibnu tak lagi kuhiraukan.

“Mbak, toilet di mana?” tanyaku kepada perawat yang bertugas, dia menunjuk ke arah belakang dan aku pun langsung berlari.

Ini gila, gimana aku bisa berakhir mengenaskan seperti ini? Aku mengurung diri lumayan lama di dalam toilet bahkan titik-titik peluh semakin bermunculan. Ketika kurasakan perutku nggak terlalu bergejolak aku keluar.

Di sana, Mas Ibnu tengah berbincang dengan Dokter perempuan yang... lumayan cantik. Begitu melihatku dia mendekat. Dengan enggan aku menurut saat dia menyuruhku berbaring ke bilik dan mulai mengeluarkan perlengkapannya.

“Sudah berapa lama bolak-balik ke kamar mandi?”

“Dari—tadi.”

Dia tersenyum sambil memeriksa perutku dengan stetoskop. “Ada makan sesuatu yang sangat pedas, makanan lama yang mungkin basi, atau kadarluasa?”

Aku menggigit bibir bawahku, sebelum mengangguk.

Dia kemudian memeriksa tensi dan mengeluarkan termometer memeriksa suhu badanku. Ah, tubuhku sudah sangat lemas, dan bergidik ketika Dokter tersebut mulai mengeluarkan jarum suntik. Tanpa sadar air mataku menetes, takut dengan jarum suntik.

“Nggak, jangan disuntik,” kataku. Aku bisa minum berpuluh obat, tapi jangan di suntik. Aku semakin mengingsut ke sudut ranjang ketika dia mendekat.

“Ini nggak sakit.”

Dengan kening berkerut, akhirnya dokter tersebut membuka tirai, “Adik Pak Ibnu kehilangan banyak cairan, demam juga, tapi menolak untuk di suntik.”

Kenapa dia jadi mengadu ke Mas Ibnu. Dan tadi dia bilang apa Adik?

“Marsha,” tegur Mas Ibnu ketika di dekatku. Aku menyorotinya dengan air mata semakin menganak di pelupuk mata.

“Aku mau pulang,” kataku memberanikan diri.

“Bagaimana bisa pulang kalau kondisi kamu begini?” tanyanya mendesis, mungkin menahan diri karena ada Dokter cantik di hadapannya. Kenapa aku harus berpikir aneh-aneh begini?

“Minum obat, aku bisa minum obat. Nggak perlu di suntik.”

Tatapan Mas Ibnu menajam, aku merunduk, namun perutku yang lagi-lagi berulah membuatku harus menelan mentah-mentah harga diri dan menarik ujung kausnya. “Pulang...” rengekku.

“Marsha jangan bercanda!”

Airmataku terjatuh mendengar bentakan pelannya di telingaku. Bibirku sudah bergetar, cengkraman tanganku di kausnya semakin kuat.

Mas Ibnu memaling muka; mengusap wajahnya kasar. “Dokter Silvi, bisa kasih resep saja.”

Air mataku enggan berhenti, dengan punggung tangan kuusap kasar, aku nggak tahu lagi seberapa semrawutnya penampilanku saat ini.

Perawat datang dan memberiku obat yang diresepkan Dokter perempuan tadi. Mas Ibnu memastikan aku meminum semuanya sebelum mengabulkan permintaanku untuk pulang.

Unfinished Fate [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang