Satu-Repost

25K 1.3K 10
                                    

Jemarinya saling bertaut bergesek satu sama lain, selain karena ia mulai merasa kedinginan akibat hujan yang turun deras sejak satu jam lalu, syndrom paniknya pun mulai timbul. Berada di keramaian tidak pernah membuatnya nyaman sedikitpun. Seharusnya ia tidak bersikeras memaksakan dirinya sendiri untuk menjemput Laras, adiknya yang kembali dari Ibukota.


Rambut panjangnya tergerai rapi menjuntai hingga ke pinggang, bergerak seirama dengan gerakan kepalanya yang sejak tadi terlihat tidak sabar. Sebentar ia berjalan mengintip ke arah depan gerbang stasiun, sebentar ia mundur merapat pada dinding. Sesekali melihat arloji tua yang terlilit di tangan sebelah kiri. Seharusya kereta, Laras, sudah sampai 10 menit yang lalu. Rinai, mengatur nafasnya kembali. Terapi pernapasan yang sejak lama ia praktekkan ketika kegugupan mulai melandanya. 


Akhirnya suara petugas operator mengudara, mengatakan bahwa kereta dari arah Jakarta akan tiba beberapa menit lagi. Rinai, merasa lega mendengarnya. Ia bergerak hendak kembali ke depan gerbang stasiun dengan gegabah, hingga seseorang menabraknya dengan keras. Rinai, jatuh tersungkur ke depan. Ponsel usang miliknya terhempas jauh, lututnya terasa sedikit nyeri akibat benturan keras. Ia sedikit shock dengan yang baru saja terjadi, terlebih saat seseorang menyentuh lengannya begitu saja. Rinai, refleks menghindar dan mendapati sepasang bola mata hitam legam tengah menatapnya. "Maafkan saya, saya sedang terburu-buru hingga tidak sengaja menabrak," jelas pria itu. Ia masih menatap Rinai, memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.

Dalam sekejap, ia merasa tersihir oleh tatapan tajam pria tersebut. "Mari biar saya bantu," lanjut pria dengan setelan rapi berkemeja putih gading dengan celana hitam di hadapannya. Rinai, tidak menggubris uluran tangan dihadapannya, ia bangkit dengan sendirinya. Berjalan ke depan untuk mengambil ponselnya dan kembali ke tujuan awal, yaitu menunggu kedatangan Laras di depan gerbang stasiun.


Merasa diacuhkan, pria itu pun melanjutkan perjalanannya kembali. Rinai, memandangi pria itu dari kejauhan. Bola mata hitam legam bundar, baru kali itu ia melihat tatapan seseorang dari jarak dekat. Tanpa sadar sejak tadi dadanya berdebar di luar batas normal. Rinai, menghela nafas.

"Mbaaak,,," teriak Laras.

"Ya ampun, Gusti." Rinai terperanjat kaget, ia mengelus-ngelus dadanya kembali. "Kamu itu senang yah bikin Mbakmu ini kena penyakit jantung, Ras. " Gerutu Rinai.


"Lah, habis Mbak daritadi melamun saja, ngeliatin siapa sih?" mata Laras tertuju pada pandangan mata Rinai sebelumnya, ia hanya bisa menangkap punggung lebar milik seorang pria yang semakin lama menghilang dari pandangan mereka.


"Siapa dia, Mbak?"


Dahi Rinai, berkerut bingung "Siapa maksud kamu?" Laras, memonyongkan bibirnya sebagai gerakan petunjuk "Itu, yang sejak tadi Mbak pandangi," Laras, melirik Rinai dengan tatapan menyelidik "Hayoo, jujur itu siapa barusan?" Ia menunjuk ke arah wajah Rinai.


Rinai, mengenyahkan jemari Laras yang teracung ke arahnya, "Hush, sembarangan saja menuduh! Sudah yuk, kita pulang sekarang. Hujan semakin deras, Mbak mulai kedinginan."


"Kan, Laras, sudah bilang Mbak, Aku tuh sudah besar, bisa pulang sendiri jadi ndak perlu dijemput-jemput segala. Tuh sekarang Mbak jadinya malah kedinginan kan lama menunggu! Kenapa juga Mbak tidak pakai sweater, sudah tahu sudah mulai musim hujan." Kata Laras dengan logat jawa.


"Biarin saja, suka-suka Mbak! Mbak yang kepengen jemput adik Mbak satu-satunya ya ndak boleh dilarang-larang!" Balas Rinai, tak mau kalah.


Laras tersenyum, "Ya Wis, kita pulang sekarang yah." Laras, memeluk bahu Rinai dengan erat. Sebenarnya Ia merindukan Mbak-yu nya, sejak kecil mereka hampir tidak pernah terpisah. Laras ingat sekali guratan sedih di wajah Rinai ketika ia memutuskan untuk meneruskan pendidikan di Ibukota.


"Aku, selalu kangen sama udara di kota ini. Nggak akan pernah bisa tergantikan." Laras, membuka jendela mobil, menghirup udara dengan sangat rakus. Hujan mulai reda digantikan gerimis kecil. Matanya menyisir sepanjang jalan Malioboro yang masih terlihat lengang. Becak sudah berdiri berjejer disana. Beberapa turis terlihat sedang berjalan santai dengan payung di tangan mereka, ada yang bahkan tidak memakai payung dan hanya mengenakan kaos tanpa lengan, seolah menikmati gerimis yang masih turun dari langit. Menikmati aura kota ini yang selalu terkesan damai dan tentram. Setidaknya, itulah yang Laras, rasakan. Mobilnya terus melaju, menuju Bantul.


Jika Laras tenggelam dengan lamunannya mengenai kota kelahirannya. Lain halnya dengan Rinai, ia menjulurkan tangannya sedikit ke luar jendela menikmati gerimis yang membasahi telapak tangannya. Entah, mengapa ia suka memandangi hujan. Menikmati sensasi yang ditimbulkan dari gemericik hujan membuat ia menyadari satu hal. Bahwa hidupnya, tidak sesunyi yang ia pikirkan.


Matanya menatap langit tinggi, sedikit cahaya matahari mulai menerobos celah-celah awan gelap. Bibirnya masih terkatup rapat, Rinai menutup matanya sesaat, membayangkan bahwa hidupnya seperti awan gelap. Sudut bibirnya tertarik, jauh dilubuk hatinya ia mempunyai keyakinan bahwa kelak sinar matahari itu akan tiba, datang dan membelah awan gelap hingga hanya ada sinar mentari yang menerangi.

SEKEPING HATI UNTUK, RINAI. -- Sudah Terbit versi ebook Playstore. Link Di BioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang