Mereka berbelok, hendak menuju lorong dimana tangga darurat berada. Tetapi sialnya, kaki kanan David menjadi sasaran tembak hingga Ia langsung ambruk ke atas lantai. "Argh!"

"David!" Niall kontan menarik tubuh David agar berlindung di balik dinding saat rentetan peluru masih mengejar mereka. Ia sedikit merobek celana David di bagian paha, letak peluru menembus kulit pahanya. "Sial. Sepertinya luka ini parah, David."

"Kau bisa berjalan?" tanya Beth dengan cemas.

David menggeleng. Ia berfikir keras. "Tinggalkan aku disini. Pergi ke halaman belakang, akan ada yang menjemput kalian. Dan ..." David menahan lengan Greyson dan berkata dengan serius. "Gunakan pistol kalian."

Ketiganya membelalak. Niall, Greyson dan Beth saling bertatapan, merasa ragu untuk meninggalkannya sendirian di lorong. Namun ketika mendengar suara tembakan yang semakin mendekat, ketiganya memutuskan segera ke tangga darurat yang pintunya terbuka lebar. Dengan berat hati ketiganya berlari meninggalkan David yang duduk pasrah di pinggir lorong, seperti menunggu ajalnya datang.

"Bagus! Ayo!" dengan semangat Niall mengenggam pergelangan tangan Greyson dan Beth, mengajak kedua remaja itu agar segera menuju tangga darurat. Ia kaget ketika Beth menepis tangannya dan menghentikan langkahnya. Kontan Niall berbalik, memandangi gadis itu dengan penuh tanya. "Ada apa, Bee? Kita harus segera ke—"

"Louis mana?!" jerit Beth histeris.

Niall melotot. Ia menoleh ke belakang Beth. Batinnya meledak-ledak emosi saat melihat Louis berlari menuju lorong, dimana kamar rawat Liam dan Harry berada.

"WHAT THE FUCK LOUIS!" Niall berteriak marah.

***

Sedangkan, di ruang rawat bernomor 110—kamar tempat Liam dan Harry berada, Liam hanya dapat duduk di atas kasur, mendengarkan suara letusan senjata tiada henti dari luar kamarnya. Ia mencoba bersikap tenang, menganggap kalo setiap suara letusan pistol itu adalah musik baru baginya. Tapi tentu, itu sulit karena Ia malah merasa gendang telinganya akan robek dan berdarah.

Dan sekitar di menit keenam, suara letusan senjata itu berhenti.

Liam tidak tahu apa itu berarti agents MI6 yang "menang" atau bahkan sebaliknya; bandits yang menang.

Liam melonjak terkejut ketika pintu kamar terbuka secara kasar hingga membentur tembok. Ternyata itu Ken, seorang agent MI6 yang tadi sempat Ia temui dan berjaga di depan pintu kamarnya. Keadaannya yang terluka membuat Liam ngeri sekaligus cemas. Terdapat luka tembak di leher dan perut Ken. Orang itu tertatih-tatih mendekati ranjang Liam. Nafasnya terengah dan lehernya penuh keringat dan noda darah.

"Oh, shit," hanya itu yang dapat Liam katakan. Ia mengedip sekali sebelum menatap Ken yang berdiri dengan punggung membungkuk dan menumpu tubuhnya di ranjang Harry. "Tolong katakan padaku teman-temanmu sedang menuju kemari. Dan mana James?!"

Ken mendongak. Ia menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan Liam, "James ... mengatasi mereka dibawah ..." ucapnya dengan terbata.

"DOR!"

Liam terperanjat. Batinnya berteriak menyaksikan Ken ambruk ke atas lantai dengan lubang peluru di kepala.

Ia ingin sekali melompat turun dari kasur dan berlari pulang. Namun tentu, itu mustahil. Yang Ia lakukan sekarang adalah terbengong, matanya tertuju kepada seorang bandit yang berdiri di belakang Ken. Si bandit tampak puas, lalu menurunkan senjatanya yang semula terangkat hingga berada di sisi kakinya.

"Masuklah! Tidak ada siapapun disini!" bandit itu mendekat ke ranjang Liam. Ia tersenyum sinis, "ternyata kau masih hidup. Tapi sekarang, nyawamu benar-benar akan habis, Payne."

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang