Sebelas|Kenyataan(1)

Start from the beginning
                                    

    Ada lagi fakta yang kuketahui dari petunjuk itu: cewek ini bersekolah di sekolahku.

     Sekali lagi, kupindahkan sketsa itu ke belakang, memperlihatkan satu kertas lagi. Masih cewek itu, sedang berdiri di pojok lapangan sekolahku.

    Satu fakta terakhir; cewek ini selalu diperhatikan oleh Aidan setiap saat.

    Yang terakhir itu benar-benar fakta yang dapat membuatku seolah-olah mendapat bogeman telak di pelipis. Sial, aku salah mengambil perumpamaan. Akibatnya, kepalaku malah sakit betulan.

    Aku menatap ketiga petunjuk itu dengan sorot mata sendu, namun berkesan kosong dan datar. Ini belum cukup.

    Aidan, apa masa lalumu?
  
    Siapa cewek yang selalu kau gambar?

***

Aidan's POV

  Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, menenangkan tubuhku yang tadi sempat tegang saat mengerjakan soal ulangan harian dari Bu Rani. Hari ini memang sedang diadakan ulangan harian serentak.

       Aku berusaha menutup mata, hanyut dalam melodi lagu dari earphone-ku. Namun tidak bisa, dahiku kembali mengerut.

      Kulepas earphone dari telinga penuh emosi.

      Aku teringat seseorang.

      Bukan gadis di sketsa itu, namun Anya.

      Kenapa aku tidak pernah melihatnya seharian?

      Aku mengacak rambutku frustrasi, agak sedikit jengkel karena--lagi-lagi--aku khawatir sendiri. Bukan cuma karena aku takut masalah dariku itu sudah menimpanya, tapi juga karena hal lain yang tidak kumengerti.

       "Gue rasa gue tau apa yang terjadi sama lo," ucap Varo dengan senyum sok tahu.

     Temanku itu memantul-mantulkan bola basket terus menerus, sesekali mengopernya ke Thio yang juga ada di situ.

     Kami sedang di lapangan basket indoor sekolah. Suasana sepi, yang terdengar di telingaku hanyalah langkah kaki Thio dan Varo yang sedang memperebutkan bola.

     Aku duduk bersandar di tengah-tengah jejeran kursi penonton, kunaikkan kedua kakiku ke kursi di depanku sambil mendengarkan musik. Lapangan indoor ini memang sering kosong saat jam istirahat, orang-orang lebih suka berkumpul di lapangan outdoor.  

      "Gue rasa gue juga tahu apa yang terjadi sama lo, Dan." Thio menimpali, mengikuti ucapan Varo.

     "Apaan?" tanyaku, bangkit berdiri, berjalan turun dari jejeran kursi penonton dan dengan mudahnya kuambil bola basket dari tangan Thio dan memasukkannya ke dalam ring dalam satu kali tembakan. Thio bertepuk tangan tidak ikhlas.

   "Kalau gue sih, gue rasa lo mau melindungi karena merasa bersalah, itu sih sudah pasti," jelas Varo. "Tapi ehem, sumpah gue gak terlalu suka bilang hal beginian, tapi bisa dibilang lo kangen sama cewek itu. HUEK! cringe banget kalau gue yang nyebut."

     Aku langsung tersedak soda dingin yang barusan kuteguk.

     "Gue juga berpikir begitu," lanjut Thio. "Lo gengsi dan berpikir kalau motifnya adalah melindungi nya demi terhindar dari rasa bersalah, tapi sebenarnya lo lebih dari itu."

     Aku terbatuk-batuk, sisa-sisa tersedak soda tadi.

     Yang benar saja.

     Aku segera bangkit dan mengambil earphone dari kursi tadi lalu segera memasangnya, aku berjalan keluar lapangan.

Sketcher's SecretWhere stories live. Discover now