9-Penolakan

Mulai dari awal
                                    

Devan berada tepat didepanku namun sedari tadi kami hanya saling diam. Aku pun juga tak sanggup untuk mengajaknya berbicara. Teringat apa yang terjadi tadi malam. Hah..

"Devan." Panggilku pelan. Aku memutuskan memastikan semuanya. Walau sebenarnya semua yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi namun benar adanya.

"Kenapa Riss?"

"Aku menerima permintaanmu malam itu." Ucapku seraya melihat langsung kematanya. Devan mengerjab kaget.

"Eee... " dia gugup. Tentu saja.

"Kamu memang masih sangat mencintai kekasihmu Dev." Kataku pelan.

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak pernah meminta untuk kamu melupakannya karena aku juga mempunyai seseorang di masa lalu. Namun kejadian tadi malam membuat aku sadar jika kamu tidak mencintaiku. Kamu... kamu hanya kasihan mungkin padaku." Devan menegakkan duduknya. Sepertinya dia tambah bingung dengan apa yang aku bicarakan.

"Kejadian tadi malam maksud kamu?"

"Kejadian ketika kamu menerima wanita lain sebagai kekasihmu hanya karena permintaan kekasihmu yang dahulu."

"Itu bukan 'hanya' Rissa. Tapi... tapi..." kali ini suara Devan agak meninggi. Seketika nyeri di dadaku terasa kembali. Hah.. memang apa yang kamu harapkan Rissa? Dia akan mengubah keputusannya?

"Aku mengerti Dev." Aku berusaha untuk tersenyum tipis. Inikah rasanya patah hati. Bahkan aku tak pernah merasakannya terhadap Mas Farhan. Memang beberapa kali aku merasa cemburu dengan teman wanita mas Farhan namun mas Farhan selalu tahu cara agar aku tidak cemburu lagi. Dan aku tak pernah merasakan sakit hati karena penolakan.

"Anggap saja aku tak pernah mengatakan hal tadi. Semoga kamu bahagia." Aku bangkit dari dudukku berencana untuk kekamar dimana Kiran tertidur pulas. Entah mengapa aku merasakan sedikit pening dikepalaku, mungkin karena kelelahan.

Aku berjalan melewati Devan namun pesawat sedikit bergoyang karena sedang menembus awan. Aku oleng karena goyangan tadi ditambah sakit dikepalaku. Mungkin harusnya aku sudah terjatuh jika Devan tidak menahanku.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Aku mau kekamar dulu." Aku langsung pergi tanpa melihat lagi kearahnya. Jantungku bertalu cepat karena kontak fisik singkat kami tadi.

Aku masuk kesalahsatu kamar dimana didalamnya Kiran tertidur pulas. Badanku luruh dibalik pintu. Tidak. Aku tidak menangis. Namun rasanya sangat sakit. Kuhembuskan nafasku untuk sedikit menetralkan perasaanku.

Setelah sedikit tenang aku duduk dikursi yang ada di samping tempat tidur. Sepertinya aku harus memikirkan ulang bagaimana kehidupanku kedepannya. Keputusan apa yang harus kuambil.

***

Aku menjalankan mobilku membelah kota Jakarta menuju Taman Kanak-kanak dimana Kiran bersekolah. Ini hari jumat dan aku berencana untuk mengajak Kiran ke Bandung dan menghabiskan akhir minggu kami disana.

Telah seminggu lebih berlalu setelah kami pulang dari Bali. Namun Devan tak pernah sekalipun menghubungiku. Kiran beberapa kali menanyakan tentang Daddynya dan terpaksa aku harus berbohong jika daddynya sedang tidak bisa dihubungi. Entahlah. Aku merasa aneh jika aku harus menghubunginya terlebih dahulu setelah penolakannya terhadapku.

Tanpa terasa aku telah sampai di depan sekolah Kiran. Kiran yang melihatku langsung membuka pintu samping dan masuk kedalam mobil.

"Jadi ke Bandung Bun?"

"Jadi dong sayang. Tuh Bunda sudah bawa baju Kiran. Kiran mau ganti baju dulu?

Kiran memanjangkan badannya kebelakang dan mengambil tas yang berisi bajunya. Dia pun mengganti seragam sekolahnya dengan baju biasa.

"Memangnya kita mau kemana Bun?" aku berfikir sebentar. Sebenarnya aku juga bingung mau kemana saja selama di bandung.

"Kita ke trans studio saja. Kiran mau?"

"Mau bun."

Tanpa terasa kami telah berada di Bandung. Aku langsung memakirkan mobilku di halaman parkir hotel bintang 3 yang letaknya tak terlalu jauh dari trans studio Bandung.

Setelah check ini kami langsung bersiap-siap untuk menjalani wisata kuliner kami di Bandung. Yah sekalian makan malam.

"Bunda. Sebenarnya ada yang ingin Kiran tanyakan Bun?" Kata Kiran saat kami sedang bersiap-bersiap. Aku menghentikan aktifitasku memberikan foundation ke wajah.

"Kiran ingin tanya apa sayang?"

"Sebenarnya Daddy tidak menghubungi kita bukan karena daddy sibukkan bun? Sesibuk-sibuknya daddy tak mungkin dia tak menghubungi kita." Ucapan Kiran monohokku. Sudah kukatakan Kiran cukup cerdas. Bahkan cukup cerdas memahami situasi yang ada sekarang.

Aku masih terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

"Bunda marahan sama daddy?"

"Hanya masalah kecil saja sayang. Maafin bunda ya sayang. Nanti bunda hubungin daddy duluan supaya kiran bisa ketemu."

"Kiran minta maaf Bun." Aku melihatnya bingung. Kuhampiri dia yang sedang duduk di kasur dan berlutut didepannya.

"Kenapa Kiran meminta maaf?"

"Kiran memang mau kalau daddy menjadi daddy beneran untuk Kiran. Ayah pun juga begitu. Tapi kalau Bunda nggak mau Kiran nggak apa-apa bun. Kiran nggak mau buat Bunda sedih." Aku menatap mata Kiran lembut walau sebenarnya rasa nyeri itu datang kembali.

"Bunda... bunda nggak tahu Sayang. Bunda belum tahu apa yang akan terjadi."

"Bunda jangan sedih ya. Kiran sayang sama Bunda." Kupeluk Kiran dengan erat. Air mataku yang sedari tadi kutahan. Namun nyeri yang tadi amat sangat terasa mulai berkurang karena mantra dari Kiran.

Bukankah aku sering bilang jika Kiran adalah penyelamatku. Dia malaikatku.

"Maaf bunda belum bisa jadi bunda yang baik untuk Kiran." Yah bahkan aku merasa jika Kiran telah dewasa sebelum waktunya. Seharusnya anak seumuran dia belum memikirkan hal seperti ini.

"Bunda nggak jahat kok Bun. Kalau bunda jahat nanti bunda ditangkap pak polisi." Aku tertawa kecil mendengar ucapan Kiran yang polos itu.

"Yaudah ayo kita cari makan." Namun tiba-tiba ponselku berbunyi dan menampilkan nama Firly di layarnya.

"Halo Fir?"

"Apa kabar Ris?"

"Aku baik."

"Kamu ada dirumah?"

"Kebetulan aku sedang di Bandung ini. Jalan-jalan dengan Kiran."

"Oh ya. Menginap dimana?"

Aku pun menjawab pertanyaan Firly dengan menyebutkan nama hotel yang kutempati. Setelah itu dia mengakhiri pembicaraan kami. Aku dan Kiran pun bergegas keluar dari hotel untuk mengisi perut kami yang telah keroncongan.

***

Pukul 9.00 pagi aku dan Kiran telah siap untuk pergi jalan-jalan. rencananya kami akan berkeliling kota Bandung sebentar baru setelah itu ke Trans Studio Bandung. namun kami dikagetkan oleh suara ketukan pintu.

Apakah ada masalah dengan kamar ini?

Aku berjalan kearah pintu dan mendapati Firly berada di depan pintu dengan senyum yang menghiasi bibirnya.

"Sepertinya aku datang tepat waktu."

TBC

Maafkan saya baru bisa update. Saya udah libur namun entah mengapa inspirasi macet ditengah jalan. Maaf jika part ini kurang memuaskan.

Happy reading jangan lupa tinggalkan jejak.

Love, LED

Listen To My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang