3-Kapan Kalian Menikah

6.7K 459 4
                                    

Devan POV

Tuhan. Apa salahku sehingga Kau memberikan cobaan sedemikian berat. Aku tahu cobaan yang aku alami hanya akan berlangsung selama beberapa jam kedepan. Namun aku tak yakin aku akan sanggup melewatinya.

"Uncle ayo kesana..." Lenka menarik tanganku. Sehingga aku yang sedang menggendong Ravan kesusahan untuk mengimbanginya.

Ya. Cobaan yang kumaksud adalah berjalan-jalan di salah satu mall terbesar bersama kedua ponakanku. Bayangkan saja aku yang tak mempunyai anak harus menjaga dua anak di tempat yang sangat ramai seperti ini. Apalagi Ravan masih berumur satu tahun.

Padahal kalian tahu sendiri jika sekarang rawan akan penculikkan anak. Sementara kedua orang tua mereka dengan santainya menitipkan kepadaku.

Salahkan kedua kakakku yang ingin berpacaran dengan masing-masing pasangannya dan menitipkan anak mereka padaku yang masih jomblo ini.

Huh bagaimana aku bisa bertahan atas semua ini. Hingga tiba-tiba Ravan yang berada dalam gendonganku menangis. Oh.. bertambah lagi masalah.

"Uncle, dek Ravan nangis."

"Kalau gitu kita duduk dulu ya." Lenka menurut.

Aku langsung menggandeng Lenka ke tempat duduk yang tersedia di dekat eskalator. Aku berusaha untuk mendiamkan Ravan, namun dia masih menangis.

"Ravan, diam sayang. Ravan mau apa?" Ravan masih saja menangis.

Bagaimana ini? Biasanya kalau Ravan menangis seperti ini dia mau apa? Aku kan bukan orang tuanya. Bahkan terkadanf orangtua pun tak tahu apa yang diinginkan anaknya. Apalagi aku yang hanya berstatus pamannya.

"Devan." Aku mendengar namaku dipanggil. Dan aku melihatnya. Aku melihatnya bagaikan malaikat penyelamat. Wanita malaikat meskipun tak bersayap.

Dia seorang wanita dan seorang ibu.
Pasti dia bisa membantuku. Pasti.

***

Larissa POV

"Ada lagi yang mau Kiran beli?"

"Nggak Bun. Kiran cuma mau alat gambar aja kok."

"Ayo kita keluar." Aku pun menggandeng Kiran keluar dari toko buku yang juga menjual alat-alat tulis.

Alat menggambar Kiran sudah akan habis. Oleh karena itu dia meminta dibelikan alat menggambar yang baru. Walaupun suaranya tidak enak didengar namun hasil gambaran Kiran sangat bagus. Bahkan aku saja yang notabene adalah bundanya tak bisa menggambar sebagus dia.

Ketika aku akan turun melalui eskalator, aku mendengar suara anak menangis. Disana aku melihat seorang laki-laki sedang sibuk menenangkan anaknya. Kasihan sekali dia. Dimana istrinya? Apalagi disampingnya juga terdapat anak perempuan.

"Bund, itu adek Lenka." Ucap Kiran menunjuk kearah laki-laki tadi.

"Lenka siapa?"

"Itu loh, yang kemarin ada dirumah om ganteng. Loh itu om ganteng Bun."

Aku menoleh lagi kearah laki-laki tadi. Ah ya.. itu Devan. Tadi aku tak dapat melihat wajahnya karena terhalang anak laki-laki yang menangis di pangkuannya. Aku juga ingat anak perempuan yang disampingnya adalah anak yang waktu itu mengajak Kiran main.

Kiran menarik tanganku menuju kearah mereka.

"Devan." Laki-laki itu menoleh dan melihatku. Dia memandangku dengan pandangan yang.. entahlah. Seperti melihat malaikat penolong. Mungkin dia kesusahan untuk menenangkan anak itu.

"Rissa, bantu aku Ris. Kira-kira kalau dia nangis dia mau apa?" Pintanya dengan wajah memelas. Aku yang merasa iba pun langsung mendatanginya dan mengambil anak laki-laki ke dekapanku.

Listen To My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang