"Kita beresin tugas kita di Bogor. Kita udah terlanjur di Bogor," tegas Jose.

"Apa kita punya alesan buat masuk ke rumah kakaknya Gintar?"

Jose diam. "Hmmm... Aku masih mikirin alesannya."

"Kalau gitu kita tunggu Gintar balik."

"Nunggu Gintar balik? Ya... Kalau Gintar nggak balik? Kalau ternyata dia balik hari Senin, buat apa kita ke Bogor? Buat apa kita..."

"Dia pasti balik. Aku yang tancepin keris itu ke jantungnya." Kinara menyentuh tengah dadanya. "Dia yang bantu aku balik lagi... Aku tau..."

I know that we are always connected... always...

*****

Kantor polisi melepaskan Gintar dari tuduhan pembunuhan. Hasil autopsi menunjukkan bahwa luka-luka di tubuh korban bukan perbuatan Gintar. Pukul dua belas siang, Gintar duduk di luar kantor polisi. Dia duduk diam dengan muka miserable dan kantung mata hitam yang bengkak. Matanya merah dan bibirnya masih dihiasi bekas darah yang mengering. Dia yang pingsan dengan mulut berdarah-darah di TKP memang tampak seperti habis menggigit korban dengan sadis. Tapi beberapa saksi yang bicara sangat memperkuat bukti bahwa Gintar nggak bersalah. 

Duka masih sangat pekat menyelubungi dirinya. Gintar masih syok dan masih lemas. Sekujur tubuhnya habis menderita nyeri yang sangat menyakitkan. Makanya dia lelah. Ditambah lagi interogasi yang nggak ada habisnya. Tenaga Gintar terkuras sehingga dia nggak bisa berpikir jernih.

Drrt...

Smartphone yang disita polisi sudah dikembalikan. Gintar bangun dari lamunan berkat line dari Ricky Angelo. Katanya dia nggak usah ke Bogor lagi karena Ricky nggak ada urusan di luar kota lagi. Mendadak hatinya nggak terima. Dia habis menonton rentetan mimpi buruk dan kejadian nyata yang buruk mengenai palasik. Bahkan mengingat julukan itu di kepalanya membuat Gintar kumat. Dia trauma. Tapi dia nggak mau ada kejadian semacam itu lagi di Bogor. At least just make sure she's okay...

Keputusannya bulat. Gintar memesan gojek dan duduk di situ sampai gojek menjemputnya dan mengantarnya ke Rentaus. Sesampainya di Rentaus, Gintar langsung mengemas dua setel baju yang bisa digulung cepat ke dalam tas ranselnya. Jangan lupa laptop dan map plastik tebal berisi makalah. Oh, ya! Makalah. Gintar menggerutu sendiri mencari-cari makalah yang harus dipelajari sebelum presentasi. Mendadak dia nggak enak hati melanjutkan presentasi itu tanpa Yadi. Bahkan dia nggak ke rumah sakit buat sekedar... mengucapkan turut berduka cita. 

Nggak sengaja Gintar menyenggol sebuah bingkai foto sampai jatuh dan pecah di lantai. Gintar kaget campur kesal. Dia memungut pecahannya lalu membuangnya ke tong sampah. Tinggal foto kedua orang tuanya, bersembunyi di antara frame alumunium yang tercongkel lepas. Perhatiannya jatuh kepada wajah ibunya yang lebih gelap dari sekitarnya. Seolah-olah foto itu difilter oleh layer hitam yang dibubuhkan di wajah almarhum ibunya saja. Gintar mengabaikan kejahatan editing itu, memasukan bingkai foto ke dalam tas dan juga mengambil sebuah amplop cokelat yang kejatuhan bingkai foto.

Gojek menunggu dengan setia di luar. Dia bahkan nggak protes melihat Gintar yang keluar Rentaus dengan baju yang sama dan tampang yang kuyu. Gojek mengantar Gintar sampai stasiun kereta dan mendapat bayaran yang sesuai. 

Gintar langsung dapat kereta. How lucky is he! Dalam satu setengah jam, Gintar langsung sampai di Bogor. Kejutan menanti di luar stasiun kereta di Bogor. Di halaman parkir dia melihat sosok Jose, berkaos putih dan celana hitam, menyandar di mobil sedan biru. Jose menurunkan kacamata bulat berlensa abu-abu dan menyelipkannya di leher kaos. Rokok di bibir diambil dan dibuang ke sembarang tempat karena sudah sangat pendek. Jose menatap Gintar dengan wajah cool yang nggak pernah ada di kamus ketololan Jose. 

Blood and A HeartWhere stories live. Discover now