Two Monsters

24 3 2
                                    

Desahan. Beberapa kali desahan terdengar. Desahan itu seperti keluar dari mulut orang yang kesakitan, lari keliling rumah, sesekali lari ke depan kamar. Dalam gelap gulita, semuanya menjadi mencekam. Suara desahan itu padahal datang dari mereka sendiri, dari Gintar dan Rina yang napasnya tersendat-sendat karena takut. Ketika seberkas cahaya menyala, wajah Gintar dan Rina mulai kelihatan. Dan...

"Aaaa!!!" 

Gintar membanting smartphone-nya ke ujung ranjang. Cowok parno itu meringkuk ke sebelah kakaknya sambil gemetaran karena syok. Gara-gara yang satu ini parno, kakaknya juga ikutan parno. Mereka berdua saling pegangan tangan dan komat-kamit ketakutan.

"Apaan sih, Gin? Lu liat apaan?"

"Foto..."

"Hah? Foto? Cuma gara-gara foto," ketus Rina.

"Foto serem, Rina! Gua nggak mau liat. Nggak akan liat..."

"Ya terus kita ngeliat pake apa? Gelap gulita begini mau ngeliat pake mata batin emangnya?"

"Ya, nggak gitu juga. Ya dari HP gua aja... Tuh kan masih nyala lampu layarnya."

Beberapa detik kemudian layar smartphone mati.

"Gin, ambil!" tegas Rina.

"Pake HP lu aja napa?" 

"HP gua dicas. Jauh tauu!"

Alis Gintar mengkerut. "Lah? Trus tadi lu telpon gua pake apa?"

"Telepon portable. Gua alihkan ke telpon di kamar ini. Udah ah... Ambil, Gin! Makin gelap tau!"

"Iya, iyaa... Ya kali makin gelap." Gintar meraba-raba kasur sampai menemukan smartphone-nya. Dia menutup mata sambil membuka kunci layar. Smartphone meyala terang dan Gintar membuka matanya pelan-pelan. Dia melihat layar wallpaper putih dengan butir-butir air warna biru, bukan gambar seram yang tadi dilihatnya. "O-oke..."

Gintar mendekatkan sumber cahaya ke antara mereka berdua. 

"Tadi foto apaan sih?"

"Em..."

"Gin!"

"Palasik..."

Keduanya diam, saling menatap horror. Tiba-tiba Rina memukul tangan Gintar dan marah. 

"Apa sihh?? Beneran foto palasik..."

"Jangan nakut-nakutin gua lu ya! Kenapa itu foto bisa ada di HP lu? Kenapa ujug-ujug kebuka? Pasti lu apa-apain kan setingannya?"

"Eh! Sumpah ya gua nggak tau kenapa ini gambar bisa nongol tiba-tiba."

Rina menangis takut. Dia memukul-mukul tangan Gintar lagi sambil menangis kesal. "Lu tau kan gua nggak mau bayi gua dimakan palasik... Lu jangan bikin gua tambah takut, Gin... Gua takut..."

Gintar jadi iba. "Iya, iya... Maapin gua. Gua nggak maksud. Sini-sini..." Gintar memeluk kepala Rina yang gemetaran di dadanya. "Eh... Masih basah deng kaos gua. Bentar. Mana kaos Gintama tadi?" Gintar mengganti kaosnya yang basah dengan kaos Gintama. Sesudahnya dia memeluk kakaknya lagi.

Kondisinya sulit. Gintar nggak bisa pergi mencari lilin karena satu-satunya penerangan cuma dari smartphone-nya. Kalaupun mau buka laptop, dia baru ingat kalau laptopnya keroncongan baterai. Dia nggak bisa men-charge laptopnya karena stop kontak satu-satunya dipakai untuk charge HP Rina. 

"Oh iya! Kan ada flashlight...," ujar Gintar. Dia menyalakan senter di smartphone-nya dan senter langsung menyorot pintu yang terbuka. "Nah... Di luar ada..."

Blood and A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang