Rent House

84 1 0
                                    

Hari Minggu malam akhirnya tiba juga. Stasiun Bandung ramai dengan mobil-mobil luar kota yang berseliweran untuk terakhir kalinya. Bandung mulai sepi dari mobil-mobil luar kota. Penduduk Bandung mulai berseliweran, berganti shift untuk menikmati malam Senin, malam santai terakhir sebelum kembali bekerja. 

Jam tujuh tepat, Jose tiba di parkiran stasiun. Dia mencopot helm hitamnya lalu menaruhnya di atas sepion. Rambut gondrong selehernya berantakan. Dia sisir sampai kembali ke bentuk semula, termasuk poni panjangnya yang belah tengah. Poni itu sudah hampir menutup kedua matanya yang lebar dan cekung. Tapi Jose tetap saja ogah potong poni.

Dia mengeluarkan smartphone jellycase hitam untuk membalas chat Line Gintar. Tapi yang bergetar di kantong jaket seudelnya itu bukan line dari Gintar. Si pengirim cuma memajang foto bibir cewek yang sedang senyum. Display name-nya cuma simbol bunga putih. Dia juga cuma mengirim kata 'Hai!'

Jose tersenyum, memajang lesung pipit di kedua pipinya yang kurus. Dia membalas: 'hai juga. ada apa?'

Si bunga membalas: 'kapan kita ketemu lagi?'

Jose melirik kanan kiri, memastikan nggak ada siapapun yang iseng men-stalker dia. Jose membalas: 'sabar, Cantik. nanti aku kabari lagi.'

Lama si bunga putih nggak membalas. Jose masih setia melotot ke layar yang brightness-nya terlampau ekstrem. Akhirnya si bunga membalas lagi: 'kamu di mana?'

Jose mengetik: 'di stasiun. jemput Gintar. kamu masih di Bogor?'

"Jose!"

Smartphone Jose terguncang. Jose kaget sekaget-kagetnya gara-gara Gintar muncul tanpa suara di belakangnya. Cengiran usil Gintar sudah selebar kucing Chesire di Alice in Wonderland. Artinya dia sudah 'jahat'. Jose memasukkan smartphone-nya ke kantong jaket lalu menunjuk Gintar sambil melotot sebal.

"Lu! Kalau muncul bersuara dong! Gila lu bikin gua jantungan aja!"

"Hahahahaaha! Skakmat!! Giliran dong! Lu udah nakutin gua sekarang gantian gua yang nakutin lu. Wee!!"

"Hoo... Bales dendam nih ceritanya? Oke, oke! Dan aku mah apa atuh? Cuma gojek..."

"Lu yang bilang ya. Gua nggak ngomong."

Jose mendesah kalah. Gintar ketawa bangga sampai perutnya keram. Sebelum cowok itu mati gara-gara nggak berhenti ketawa, Jose memukul perutnya dengan helm warna kuning. Gintar langsung tersedak dan batuk-batuk. Bahkan ludahnya sampai nyiprat ke rambut Jose. Mulailah Jose marah-marah lagi.

"Sor... Ohok! Ohok! ...ry..."

"Lu udah batuk masih bisa ya bikin dosa. Heran gua."

"Iye, iye... Maap. Cuma gitu aja ngamuk. Ntar cewenya kabur lho! Jadi Jo-nes seumur hidup. Hahaha..."

"Udah, Pa? Udah pegel saya nunggu ojek."

"Ya, ya, ya. Gua naik nih."

Gintar memakai helm lalu naik ke jok motor scoopy cokelat hitam Jose. Tas laptop Gintar dibawa Jose, sedangkan ranselnya disandang Gintar. Motor distater dan mereka berangkat ke tempat kost Gintar. 

"Oyaaaa, Giiin...," teriak Jose, mengalahkan suara bising jalanan.

"Apaaaa??"

"Lidiaaa ngaaambeeek..."

"Haaaah?? Kenapaaa? Oooh! Guaaa kan eemang nggaak bisaa ke Bandung cepeet. Neneek gua baaruu daateng jaam limaa soree. Gua nggaak bisaa ninggaaliin Riinaa."

"Iyaa guaa tauu udeeh... Lidiia ngambeek karenaa nggaak adaa yaang dateeng selaiin guaa."

"Teruus? Guaa mestii ngapaain?"

Blood and A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang