Iron Heart

102 4 2
                                    

"I love you..."
Kinara terus melatih lidahnya untuk bilang I love you. Cuma tiga buah kata yang susahnya minta ampun. Kinara Azela adalah gadis tujuh belas tahun yang diam dan sulit memuntahkan isi pikirannya. Ia cenderung dijauhi bahkan di kelasnya karena nggak ada yang sukses mengajaknya ngobrol akrab. Dia terlalu dingin seperti AC 17 derajat di ruangan audiovisual. Kalau ada orang yang berhasil, orangnya adalah Gintara Wilson, mantan gitaris Caramella yang nyaris bubar di sekolahnya.

Kinara berdiri di belakang Rocket Cafe and Resto yang malam itu sedang dihibur suara keren Gintara Wilson. Ya, lepas dari Caramella, cowok itu sering main solo di kafe itu. Kinara sering dia ajak nonton tapi ia selalu menolak. Baru kali ini Kinara nongol di kafe itu untuk menontonnya. Meski cuma dari pintu backstage...

And I'm waiting for them to return
So I can call you and convince you to come home...

Sayup-sayup lirik lagu favorit Kinara terdengar dari pintu backstage. Kinara memejamkan matanya, menghayati lirik yang sedang mengiris hatinya itu. Ia gigit bibirnya yang gemetaran menahan tangis, memeluk badannya sendiri yang kedinginan, menundunduk... sampai dagunya nempel ke dada. Helai demi helai rambut lurus Kinara berjatuhan, menutupi wajahnya yang pucat pasi. Helai demi helai tertiup napasnya yang samar karena gugup. Kinara terisak... melepaskan sakit yang selalu ia derita setiap jamnya.

Kriet...

"Lho?? Kin?"

Pintu yang terbuka mengeluarkan wajah Gintar yang berkeringat. Kinara tercekat sampai ia angkat muka secepat gitaris metal yang manggut-manggut. Gintar tertawa remeh, menyandang gitarnya lalu memukul pelan ubun-ubun cewek kurus itu dengan head gitarnya.

"Kenapa nggak nonton di dalem, Heh? Di sini lu mau nonton angin?"

"Yah... gua kan bisa denger suara lu dari luar," balas Kinara, santai, diselingi tawa renyah.

"Dasar..."

Gintar, cowok yang nggak begitu jangkung, berbadan padat karena otot, menutup pintu backstage. Gintar mengenakan kacamata berbingkai kotak yang sebenarnya agak vintage. Tapi ia dan kacamatanya nggak pernah kepisah alam itu selalu membuat wajahnya sempurna. Padahal kacamata lebar itu selalu membuat keringatnya menumpuk di bawah kantung mata, menumbukan jerawat yang merusak wajahnya. Gintar mengelap keringatnya dengan lengan kemeja. Dia menarik kacamatanya sampai bertengger di atas poni. Gintara menyulut rokok lalu menghisapnya tiga kali sebelum dihembuskan.

"Lu mau dipergokin Pak Bambang lagi? Jangan ngerokok ah..."

"Ya kali Pak Bambang ke sini. Oh ya udah malem nih. Lu gua anter pake motor gua, ya."

"Gin... kita jalan kaki aja ya."

"Lho kenapa? Lu jelas-jelas uda pegel berdiri semaleman di luar sini. Terus lu mau jalan kaki, mau lu apa? Mau patah kaki ato gimana? Udahlah... Lu nurut sama gua kali-kali."

Kinara menunduk. Gara-garanya, Gintara kebingungan. Dia ikut-ikutan nunduk, penasaran dengan wajah Kinara yang ditutupi rambut. Ternyata dia melihat Kinara menangis. Gintara langsung mengomel. Dia kacak pinggang sambil menasehati ala-ala kakak cowok yang menyebalkan. Akhirnya tangisan Kinara reda.

"Kenapa sih lu? Jangan jadi anak aneh deh. Gua tau lu pasti pengen gaul sama anak-anak sekelas kan? Nggak usah sok jaim dah! Sama gua aja lu bisa seabstrak lukisannya Basquiat. Jangan bikin gua susah deh..."

Tangan Kinara menangkap tangan Gintara. Tanpa banyak omong lagi, dia menarik Gintara, mengajaknya ke taman yang jauh di luar kafe. Taman itu sepi karena sudah jam sepuluh malam. Kinara berdiri di bawah lampu taman bulat supaya Gintara nggak bisa lihat wajahnya. Susah... Cewek kurus itu masih kelihatan mukanya. Rona merah karena malu merekah di wajahnya. Kinara menunduk lagi.

Blood and A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang