Song and Disaster

12 0 0
                                    

Hari demi hari berlalu dalam suasana dingin. Hubungan persahabatan Jose-Gintar merenggang. Tapi mereka masih sering mengerjakan makalah bersama. Sampai hari Rabu, Gintar masih tinggal di The Leaf House. Kalau Yadi balik ke kosan, Gintar pindah ke kamar Jose. Kalau Yadi pulang ke rumah istrinya, Gintar pindah ke kamar Yadi. Hari Kamis, diskusi makalah berjalan lancar dan mereka siap presentasi di hari Selasa. Hari selanjutnya, Gintar pulang ke Rentaus yang berjarak seratus meter lebih jauh dari The Leaf House. Hari selanjutnya, Jose nge-date lagi dengan Kinara.

Hari Sabtu ini mereka benar-benar berduaan di rooftop The Leaf House. Sebelum-sebelumnya, mereka pacaran sembunyi-sembunyi di Gedung Ekonomi supaya nggak ada saksi mata dari angkatan Jose. Sekarang mereka bebas mau mengobrol apa, bebas mau gombal-gombalan. Tapi ada hal yang membelenggu mereka supaya nggak terlalu dekat: ingatan Gintar.

"Kinara," sahut Jose yang duduk bersila di atas batu gepeng di roof garden.

Kinara melangkah dari satu petak batu ke petak lainnya. Dia menangkap tangan Jose yang terulur membantunya. Jose menangkap tubuh Kinara dan memeluknya agak lama. Sesudahnya, Jose membiarkan Kinara bergerak melaluinya, duduk di atas batu gepeng. Kinara kali ini menjaga jaraknya. Ada pikiran yang mengerem perasaannya. Salah satunya adalah takut Jose 'kebablasan'.

"Lu masih cinta sama Gintar?" Jose mengulang pertanyaan yang sama dengan nada pasrah.

"Kamu nggak percaya sama aku?" balas Kinara, mengulang pertanyaan yang sama dengan nada curiga.

"Hah... There's no end for this. Chose one, Kinara. Go to Rock Cafe or go to Bogor with your car."

"Both," jawab Kinara dengan mantap.

"Nggak bisa. Kita harus uda di Bogor sebelum Gintar nyampe ke Bogor," dengus Jose.

"Both," tegas Kinara.

"Ampun... Lu emang hobi nyusahin gua."

Kinara tersenyum I win and always win. Dia turun dari batu gepeng dan menarik Jose. Mereka berdua berdiri berhadapan dalam jarak dekat. Angin meniup rambut Kinara dan juga shal merah kotak-kotaknya. Lehernya terbuka. Shal itu terbang. Jose menangkapnya lalu melilitkan shal itu ke leher Kinara. Dia memastikan semua leher Kinara tertutup, termasuk tato gigi-gigi tajam bertaring panjang yang meleletkan lidah. Done...

"Kamu nggak harus jadi orang lain lagi. Kamu ya kamu."

Jose melepas jaketnya dan memakaikannya ke Kinara. Dia mengajak Kinara turun lewat tangga service. Mereka saling diam sampai matahari terbenam terlihat dari pinggir bangunan, mengintip sepasang mahasiswa beda status itu. Kinara berhenti sejenak untuk melihat matahari terbenam.

"Kin, manusia itu kayak langit." Jose menatap matahari yang semakin tenggelam di antara awan-awan lembut. "Kalau matahari udah hilang, langit jadi gelap. Kalau matahari terbit, langit jadi terang. Semua manusia pasti berubah. Nggak ada yang abadi."

Senyuman Kinara berkomentar. Bibir tipisnya terbuka sedikit. Gigi putihnya dan taringnya yang agak panjang berkilau memantulkan cahaya matahari senja. Matanya berkilat, memantulkan cahaya matahari senja. Ketika matahari benar-benar tenggelam, mata Kirana berpendar kemerahan.

"Come on. Let's say a proper good bye," ajak Jose.

*****

Rock Cafe kental dengan nuansa rock dan metal. Setiap dindingnya dihiasi papan-papan kayu yang dilukis gambar band-band rock dan metal dari masa ke masa. Setiap mejanya diberi gambar alat-alat musik dan bahkan gambar soundmixer-pun ada. Panggung Rock Cafe didesain sebagai aksen interior Rock Cafe. Panggung setinggi lima puluh senti meter itu terbuat dari beton yang dicat hitam. Panggung berbentuk setengah lingkaran, memojok ke dinding yang dipenuhi potongan-potongan alat musik bekas mulai dari pedal drum sampai head gitar. Bahkan tuts piano pun turut menghias dinding, membentuk tulisan 'Rock Cafe's Stage' dengan indah.

Blood and A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang