Biar kujelaskan, tadi aku membiarkan Anya masuk sendiri, aku ingin sekali menjahilinya saat melihat tingkahnya yang sok berani. Mungkin karena terbawa suasana, ia tidak sadar bahwa aku tidak ikut bersamanya.
Tadinya aku tertawa terbahak-bahak, tapi sekarang aku bahkan tidak bisa mengukir satu cengiran pun. Firasat buruk mulai datang, mengganggu pikiranku.
Iya, aku merasa cemas dan gelisah, juga bersalah.
"Dek, ini udah lewat batas waktunya, apa temanmu yang tadi itu tidak apa-apa di dalam sana?" tanya salah seorang pengunjung yang dari tadi mengantre.
Aku sudah di ambang kegelisahan, dengan cepat, aku menerobos antrian dan segera masuk ke dalam rumah itu tanpa izin.
"Eh dek! Bayar dulu," teriak si penjaga berjubah tadi. Lupakan! Aku mulai bertambah panik saat melihat suasana di dalam rumah hantu itu lumayan gelap.
Aku berkeringat, hawanya panas.
Lama aku menyusuri wahana itu sampai bahkan aku hampir sampai di pintu keluar
Mbak-mbak suster ngesot bahkan cuma kukatai "Minggir." Karena memikirkan Anya yang sampai sekarang tidak kutemukan.
"Anya!" Aku segera nenghampiri Anya terkejut begitu melihatnya berdiri di dekat pintu keluar.
Kusentuh bahunya yang bergetar. Sebut saja aku bodoh, tapi tadi memang cuma candaan, aku tidak tahu Anya akan di sana selama dua puluh menit lebih.
Aku tidak sadar telah merangkul Anya. Apa boleh buat? Aku membantunya berjalan ke kursi panjang. Sejak tadi, Anya sama sekali tidak mengatakan satu kata pun, melihat wajahku saja tidak.
"Anya, lo gak apa-apa?" Aku mendudukkan Anya di sebuah kursi kayu, suaraku hampir tidak kedengaran karena parade dan bising-bisingan lain.
Anya tidak menjawab, ia menunduk dalam, wajahnya tertutup rambut. Entah kenapa aku agak merinding.
Kalau sampe kerasukan, mati gue.
Ah sudahlah, Jelas-jelas itu Anya.
"Anya?" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, sangat dekat. Kulihat rona merah di pipinya. oh, syukurlah! sudah pasti itu Anya.
DUAK!
Anya mendorongku dengan kekuatan super, aku terpental ke belakang. Bibirku langsung mengukir senyum lebar.
"Lo kemana aja sih?! Lo sengaja ngerjain gue kan? bisa-bisanya lo ninggalin gue!" Aku tertawa sembari melihat wajahnya yang merah.
Hanya melihat wajahnya, kata-katanya sama sekali tidak kumasukkan di otak.
"Gimana kalau gue kesasar? Trus gue diculik, kesambet, jatuh, pingsan, masuk rumah sakit trus mati? Lo gima--"
Aku buru-buru mencubit pipinya gemas. "Iya, maaf," ucapku kemudian.
Aku melepaskan tanganku dari kedua pipinya.
Kulihat pipinya memerah, sampai ke telinga. Aku meraih tangannya, lalu pipinya semakin memerah.
Eh, apa cubitan gue tadi terlalu keras ya?
***
Anya's POV
Deg, deg, deg.
Aku dapat mendegar degup jantungku sendiri, pipiku merah sampai ke telinga. Tadi wajah Aidan terlalu dekat. Terlalu dekat.
YOU ARE READING
Sketcher's Secret
Teen Fiction(Completed) Bagi orang-orang lain, Aidan itu; -Cakep -Suka musik dan basket -Agak pendiam -Suka bawa buku sketsa ke mana-mana Tapi bagi Anya, Aidan itu; -Tidak hanya cakep, tapi juga ramah dan punya senyum yang manis. -Tidak hanya sekedar suka...
Lima|Festival Kembang Api (2)
Start from the beginning