"Dengan pesawat," jawabku asal.

"Tidak lucu!" suara Ica terdengar lucu. Dia yang seperti inilah yang sangat aku rindukan.

"Ehheem!" suara seseorang mengganggu aktifitasku. Dan aku membenci gangguan ini. Apa orang itu tidak tahu kalau aku masih ingin berlama-lama memeluknya? Aku rasa orang itu memang tidak tahu. Karena sedetik kemudian Ica mendorongku dari pelukan hingga membuat tubuhku mundur beberapa langkah ke belakang.

"Maaf Pak Davis! Ini tidak seperti yang anda bayangkan," ucap wanitaku gugup. Wanitaku? Senangnya kalau dia benar-benar menjadi wanitaku.

"Jadi begini tingkahmu?" tanya Daddy entah kepadaku atau Ica, tapi aku lihat seringai muncul di bibirnya.

"Maaf, Pak!" kali ini Ica terlihat takut, wajahnya sudah menunduk dalam.

"Hentikan, Dad!! Dad membuatnya ketakutan!" ucapku setelah melihat senyum Daddy terpampang jelas di depanku. Daddy mengerjainya, mengerjai wanitaku.

"Setelah sekian lama hanya kata itu yang keluar dari bibir Si Brengsek ini!!" tunjuk Daddy sambil meninju pelan lenganku. "Dasar anak durhaka!" Daddy memelukku.

"Dad? Apa maksudnya?" tanya Ica terkejut setelah melihat adeganku dipeluk Daddy.

"Kamu ingat ceritaku saat kita di kafe dulu? Aku mengikuti saranmu," ucapku pelan mendekati wajahnya.

"Ehem!! Dasar anak muda! Tidak lihat ada seseorang di sini!" tegur Daddy saat melihatku seperti ingin mencium Ica. Aku tersenyum menanggapi ucapan Daddy, sedangkan Ica sudah menunduk malu. Oh... Lucunya wajah itu.

"Pulang kerja tunggu aku ya!" pintaku sebelum Ica beranjak pergi menyiapkan minuman untukku yang diminta Daddy ke ruangannya.

**

"Ruangan ini tidak pernah berubah. Sudah berapa lama semenjak aku pergi Dad?" komentarku melihat seisi ruangan Daddy yang dulunya adalah ruanganku.

"Mommy-mu yang meminta tidak merubah ruangan ini. Bahkan Daddy tidak diijinkan untuk menyentuh barangmu di rumah."

"Bagaimana kabar Mommy, Dad?"

"Jadi dia alasan kamu kembali?" Daddy tidak menjawab pertanyaanku.

"Iya!"

"Jadi karena wanita itu kamu kembali?"

"Karena ucapannya Dad. Dia yang telah menyadarkanku betapa penting dan berartinya keluarga. Terlebih karena ucapannya aku jadi khawatir tentang Mommy."

"Kalau begitu kapan kamu akan membawanya ke rumah?" tanya Daddy.

"Setelah aku bertemu Mommy dan menjadikannya kekasihku." Sudah lama aku tidak bercerita seperti ini dengan Daddy. Aku merindukannya. Dan beruntungnya Daddy tidak mempermasalahkan kepergianku selama ini. Aku yakin, Daddy sudah tahu dimana keberadaanku dan sedang menungguku kembali.

"Sebelum kita membahas Mommy-mu. Dad ingin bahas sesuatu tentang pekerjaan," wajah Daddy terlihat serius.

"Setelah jabatan Daddy kamu pegang, aka nada seorang MG baru yang akan membantumu. Dia juga mulai bekerja sesuai dengan masuknya kamu sebagai CEO menggantikan Daddy. Enam bulan lalu dia datang kemari dan memantau kinerja karyawan lainnya, jadi Daddy harap kamu bisa bekerja sama dengannya," pinta Daddy.

"Selama dia tidak mengganggu pekerjaanku dan mengacaukan perusahaan ini, aku akan senang bekerja dengannya."

"Tidak akan mungkin. Dia dikenal sebagai pegawai terhebat di Amerika. Karena itu Daddy memintanya untuk membantumu. Ya... walaupun Daddy tahu, tanpa bantuan siapapun kamu bisa mengembangkan perusahaan ini."

"Baiklah! Aku akan dengan senang hati bekerja dengannya. Tapi... bagaimana dengan kabar Mommy, Dad?" tanyaku lagi.

"Sepertinya jumpa kangenmu dengan Ica harus ditunda terlebih dulu. Karena akhir-akhir ini, Mommy-mu sering mengeluh sakit kepala. Mungkin karena terlalu banyak memikirkanmu diwaktu senggangnya. Beruntungnya anak Daveeta selalu menemani neneknya, jadi Mommy-mu sedikit terhibur dengan celotehan anak kecil."

"Semoga Mommy tidak memukulku karena aku tidak pernah menghubunginya!" gumamku berharap.

"Daddy harap dia membunuhmu!" balas Daddy bergumam dengan seringainya.

**

Pintu rumahku sudah terbuka lebar. Bukan aku yang membukanya, melaikan Daddy yang perlahan masuk tanpa suara tapak kaki. Sebenarnya yang baru kembali ke rumah ini aku atau Daddy? Kenapa harus Daddy yang datang sembunyi-sembunyi. Dan bodohnya aku, mengikuti langkah Daddy, sambil memegang belakang kemeja Daddy. Sungguh aku takut kali ini. Takut akan reaksi Mommy saat melihat kehadiranku. Ini yang selalu aku dan Daddy lakukan dulu saat sembunyi-sembunyi menutupi penampilanku yang berantakan setelah bermain bola dengan Daddy.

"Sayang! Apa yang kamu lakukan?" Aku mendengar suara yang sangat aku rindukan sudah ada di hadapanku. Buru-buru aku menyembunyikan diriku di balik tubuh Daddy yang sama besarnya denganku. Di usia yang sudah tidak muda lagi, Daddy masih memiliki tubuh atletis. Pantas saja dulu Mommy sering bertengkar dengan Daddy kalau ada wanita lain yang coba mendekati Daddy.

"Oh... Honey!! Aku pulang!!" teriak Daddy ingin beranjak memeluk Mommy dengan tangannya yang sudah terbuka lebar. Buru-buru aku menahan kemejanya, agar tidak memeluk Mommy. Bagaimana bisa Daddy meninggalkanku begitu saja yang masih bersembunyi di balik tubuhnya?

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Daddy tidak suka pada apa yang aku lakukan.

"Siapa itu, Sayang?" terdengar suara Mommy yang merdu. Suara yang aku rindukan. Panggilan yang aku rindukan. Senyuman yang aku rindukan. Aku selalu merindukannya. Sungguh.

"Hai, Mom!!" ucapku pelan-pelan keluar dari persembunyianku.

"Genta!! Ya Tuhan! My Sun!!" Mommy menutup mulutnya menahan tangis. Air mata sudah keluar dari kedua mata coklatnya yang indah.

"Yes Mom! I'm your Sun." Begitulah Mommy dulu sering memanggilku. Aku berjalan menghampirinya dan memeluknya erat. Aku rindu pelukan Mommy.

"Apa aku mengkhayal lagi?" gumam Mommy terdengar olehku. Apa sebegitu seringnya Mommy berkhayal melihatku sehingga saat kita bertemu sekarang Mommy mengiranya ini hanya sebuah khayalan??

"It's real, Mom! It's me, your Sun!" Aku menatap Mommy sambil menghapus jejak air yang mengalir dari kedua pipi Mommy.

"Aaaau!" teriakku nyeri, Mommy mencubit pipiku.

"Kamu benar-benar Mentari Mommy!" ucap Mommy menciumi pipiku. Seluruh wajahku sudah basar dengan air mata Mommy yang tidak henti-hentinya mengalir. Aku bahagia. Sungguh bahagia.

"Eheeem!! Sepertinya ada yang belum mendapatkan jatah peluk! Apa sekarang Daddy sudah dilupakan?" tanya Daddy menyadarkan aku dan Mommy yang masih meluapkan rindu dalam pelukan. Daddy selalu mengganggu kesenanganku saja. Tadi saat di kantor dan sekarang?

"Carilah pelukan lain selain di sini! Yang ini hanya milik Daddy!" ucap Daddy sambil memisahkan aku dari pelukan Mommy. Mommy hanya tertawa melihat aku dan Daddy yang memperebutkan pelukannya. Kebiasaan kami berdua tidak pernah hilang, walau waktu telah memisahkan kita cukup lama.

"Tapi aku kan sudah lama tidak memeluk Mommy!" protesku.

"Salahmu sendiri! Kenapa pergi terlalu lama? Lagipula bukankah kamu sudah punya seseorang yang bisa kamu peluk tadi? Saat di kantor?" ucap Daddy menyeringai. Dan Mommy sudah siap mengintrogasikanku dengan wajah penuh tanyanya itu. Pasti pertemuan kali ini akan lebih banyak pertanyaan Mommy dibanding rasa rindunya kepadaku. Aaah! Daddy memang selalu bisa membuat Mommy seperti ini.

TBC


Couldn't BackWhere stories live. Discover now