"ada apa Ja? Kenapa gak dibales?" Tari membuyarkan lamunan Senja.

Senja tidak tau harus bagaimana membalasnya, dan memberikan ponselnya pada Tari, supaya Tari membacanya.
Selesai membaca. Tari mengumpulkan segenap keberaniannya, untuk menutupi rasa iri yang menyelinap dalam hatinya. Tari memang bukan wanita yang sempurna, yang bisa selalu berpikir positif, tapi akan selalu ada pikiran negatif dalam dirinya, termasuk rasa iri ataupun cemburu.

"balaslah Ja...balas sesuai dengan apa yang ada dalam hatimu. Ungkapkanlah...jangan kau tutupi, hanya karena takut melukaiku," Tari mengembalikan ponsel Senja dan bangkit dari tempat duduknya, "aku ketoilet dulu ya," kemudian pergi meninggalkan Senja. Memberi waktu pada Senja untuk membalas, dan memberi waktu pada hatinya sendiri untuk tidak terluka, walaupun memang sudah terasa sakit.

Tari tidak pergi ketoilet, tapi Tari duduk diruang tunggu kantor, diam dengan hati yang terus beristighfar, memohon agar diberi kekuatan oleh Allah. Karena rasa yang ada dalam hatinya juga berasal dari Allah, manusia tidak bisa memilih pada siapa dia akan merasakan suka, kagum, sayang atau apapun jenisnya, jika Allah tidak menghendakinya. Tari berdoa, jika rasanya tidak bisa menyatu dengan yang dituju, mohon hapuskanlah rasa itu. Tari ingin rasa itu hanya untuk yang halal baginya dan berhak mendapatkannya. Semoga Allah mengabulkan doanya.

Sedangkan Senja dikantin, masih berusaha menyusun kata yang akan digunakannya untuk membalas pesan Fajar. Menimbang baik buruknya bagi dia dan Fajar, juga Tari. Sungguh Senja tidak ingin menyakiti hati Tari, tapi juga tidak bisa menolak takdir, jika Allah sudah berkehendak. Senja tidak mau ada penyesalan setelahnya. Dengan mengucap Bismillah, Senja membalasnya.

Senja:
"wa'alaikumsalam...maafkan aku telah membuat kalian menunggu. Hingga saat inipun aku belum bisa menjawabnya, aku tidak mau terburu-buru. Aku ingin benar-benar yakin ketika aku mengambil keputusan, apalagi untuk masa depan. Aku tidak memintamu menungguku, karena aku tidak tau kapan aku akan menjawabnya. Entah dalam waktu sehari dua hari, atau bahkan setahun dua tahun. Jika memang Allah menghendaki, tentu tidak sulit untuk aku memutuskan. Dan kini terserah padamu, mau menunggu ataupun tidak. Maafkan aku, dan tolong sampaikan maafku pada Ibumu juga.
Namun jika kamu bertanya adakah harapan 'iya' itu untukmu? Maka akan ku jawab, 'ada'."

Tidak selang berapa lama, hanya hitungan menit, Fajar langsung membalasnya. Karena memang Fajar sedang menunggu balasan dari Senja.

Fajar:
"dan aku akan menunggu hingga jawaban 'iya' itu terwujud."

Senja:
"walaupun tidak pasti kapan datangnya?"

Fajar:
"aku yakin, segera akan datang waktunya."

Senja:
"kamu terlalu yakin, untuk penantian yang belum pasti."

Fajar:
"itu pasti Ja...karena kamu menyelipkan 'harapan iya' dalam kalimatmu."

Senja:
"maafkan aku...aku masih menanti cahaya untuk menerangi gelap, agar aku bisa berjalan sampai tujuan, tanpa takut tersesat."

Fajar:
"cahaya itu akan segera datang, dan aku akan menjadi pengantar sinarnya, agar kita bisa melangkah bersama."

Senja:
"berarti kita sama-sama menanti? Kamu menanti jawabanku, dan aku menanti cahaya untuk memulai langkah baru..."

Fajar:
"iya...kita sama-sama menanti. Sampai Allah merestui dan meridhoi langkah kita."

Senja tidak lagi membalas pesan dari Fajar. Rasanya sangat indah, ketika membaca ulang percakapan tadi. Tapi Senja juga sadar, belum saatnya untuk terlalu memikirkan Fajar, karena mereka belum halal, dan masih banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi diantara mereka. Apalagi saat Senja mengingat Tari, bagaimana perasaannya saat ini?

Fajar dan Senja {ending}Where stories live. Discover now