32. Nightmare

21.8K 2.2K 33
                                    

Thalia.

"Beneran nggak apa-apa, Tha, namu jam segini?" suara Fadli terdengar khawatir, karena ini sudah jam satu lewat dua puluh lima menit, nyaris setengah dua berarti.

"Nggak apa-apa, gue malah sering main ke sini jam dua malam, jam tiga malam, subuh bahkan." Fadli menggelengkan kepalanya mendengar pengakuanku.

Dalam hati aku mengumpat.

Dasar Thalia! Rusak aja deh itu image!

"Perlu diantar sampai dalam nggak?" tanya nya, aku otomatis menggeleng.

"Nggak usah, itu satpamnya udah standby." Aku melirik pos kecil yang berada dekat gerbang utama, tepat di sebelah pintu kecil.

Tak lama, pintu kecil itu terbuka, dan seorang pria paruh baya berkumis terlihat dari baliknya.

"Tuh kan, gue bilang apa," aku memamerkan deretan gigiku yang rapi, dan Fadli akhirnya mengangguk.

"Yaudah, tapi gue tungguin sampai lo masuk ya?"

"Nggak usah, begitu gue turun, lo langsung jalan aja," ujar ku.

"No, gue nggak nganter masuk, seenggaknya gue mastiin lo masuk." Nada posesif terdengar dari suara Fadli, tapi aku suka!

"Oke, oke..."

"Good night, Thalia, sleep well ya!"

"Good night too Fadli, kalau udah sampai rumah, jangan lupa kabari gue ya!" Fadli mengangkat tangannya membentuk hormat, sedangkan aku menyempatkan diri melempar senyuman sebelum keluar dari mobil.

Fadli menepati janjinya, tepat setelah aku melewati pintu, aku dengar deru mobil mulai melaju.

"Najla sudah pulang, Pak?" tanyaku pada Pak Samad, sekedar berbasa-basi.

"Sudah dari tadi, Non, masuk aja," jawabnya sembari mengaitkan gembok pada pintu tempat aku masuk tadi.

"Oh iya pak, ini nasi goreng, kalau Bapak lapar," aku mengangsurkan plastik berwarna hitam, yang langsung diterima Pak Samad dengan mata berbinar.

"Wah, makasih ya Non!"

"Sama-sama pak!" Aku melangkah meninggalkan Pak Samad, mulai tidak sabar untuk bercerita pada Najla.

Senyum ku merekah, mendapati ada benda berkilau yang melingkar di jari manisku. Imajinasiku mulai bermain, membayangkan ekspresi Najla kalau mendengar cerita tentang Fadli.

Kira-kira, begini bayanganku.

"Thalia! Lo seriusan? Gila lo ya, baru lulus udah mau jadi istri orang?!"

"Of course, darl! Bakan kalau dia mau ngajak gue nikah sekarang, gue siap!"

Dan setelah itu, kami akan tertawa gila-gilaan, mengumpat Bagas, Bara atau Radith, memamerkan apa-apa yang terjadi malam ini dan baru tidur ketika matahari terbit.

Senyumku belum lenyap, ketika mendapati Mama Najla duduk sendiri di ruang tamu. Demi sopan santun, aku memutuskan untuk menghampiri dan menyalaminya terlebih dahulu.

Oke, bukan demi sopan santun, karena bertamu tengah malam begini juga sebenarnya sudah sangat tidak sopan.

"Malam tante," aku menyalaminya. Wanita itu mengangkat kepalanya, lalu tersenyum ketika menemukan wajahku.

Tidak seperti baik-baik saja, wajah Mama Najla merah, mata perempuan itu tampak sembab, dan di sudut matanya terlihat embun yang siap meluncur. Air mata?

Sebenarnya, aku ingin menepuk-nepuk punggung wanita itu, memeluknya lalu bertanya alasan dari jatuhnya air mata tersebut, tetapi kami belum cukup dekat.

"Ke atas aja, Tha, mungkin Najla lagi mandi," ujar wanita itu sambil mengusap jejak air matanya dengan ujung jari.

"Maaf tante, Thalia datang tengah malam."

"Nggak apa-apa sayang, anggap rumah sendiri," paras cantik Mama Najla tampak lelah, tapi ia menyempatkan diri tersenyum sebelum aku pamit untuk naik ke atas.

Tepat ketika kaki ku menginjak anak tangga pertama, suara lembut itu kembali terdengar memanggil namaku.

"Thalia?"

"Iya, tante?"

"Apapun yang terjadi, tolong selalu support Najla."

"Iya, tante, pasti!" aku mengangguk meyakinkan, sorot terima kasih tampak dari mata wanita itu.

Dari gelagat dan kalimat yang baru saja di katakan Mama Najla, aku tau, sesuatu yang salah telah terjadi, terlebih ketika melihat lampu ruangan kerja Papa Najla yang masih menyala.

Apapun itu, aku harap bukan benar-benar sesuatu yang buruk.

Ketika sampai kamar Najla, mataku langsung terfokus pada pot anggrek yang terletak di meja samping pintu, di sebelah pot itu terletak bunga dari Bara. Senyumku merekah, let me guess, anggrek itu pemberian dari Bagas, isn't it?

Suara keran terdengar dari kamar mandi, membuatku yakin, bahwa Najla memang sedang mandi.

Aku merebah kan diri di atas kasur, lalu melepaskan sendal dari Fadli asal-asalan. Kelima jari tangan kiri ku aku bentangkan, membuat cahaya dari lampu kamar Najla terpantul pada logam yang melingkar di jari manisku.

Pipiku kembali bersemu mengingat segala hal tentang Fadli. Dia tampan, dia cool, dia keren, dia baik, dia gentle, dia cute dan yang terpenting adalah dia Fadli, cuma satu di dunia.

"Jla, cepetan dong, gue mau cerita banyaaak!" aku berteriak kelewat bersemangat. Najla harus banget cepet tau!

Aku bangkit dari tempat tidur, berniat untuk membersihkan make up, tapi tepat ketika kaki ku mendarat di atas karpet, sesuatu yang tajam menyentuh kulit ku.

"Aw!" pekik ku tertahan, seketika kasa yang tadi Fadli pakai kan merah oleh darah.

Aku mencabut beling yang ukurannya cukup besar dari telapak ku, beling berserakan di karpet, dan darah mengotori sebagian pecahan tersebut. Awalnya, aku mengira itu adalah darah ku, tapi napasku tercekat ketika melihat darah itu menjejak, berceceran sampai pintu kamar mandi.

"Jla?" panggil ku takut-takut, tidak ada jawaban.

"Najla, lo nggak apa-apa kan?" aku memanggil namanya lagi, mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.

Tapi sama, satu-satunya yang terdengar adalah suara air yang mengucur. Aku berusaha membuka pintu, tapi itu terkunci, membuatku semakin frustrasi.

"Najla, sumpah, lo nggak aa-apa kan? Jawab, Jla!" ketukan itu berubah menjadi gedoran, tapi lagi-lagi nihil, suara Najla tdak terdengar sedikitpun.

Dengan panik aku berlari keluar, berteriak memanggil siapa pun.

"Kenapa, Tha?" Mama Najla terlihat lebih dahulu, disusul oleh Papa Najla dan Bibi.

"Tante... Najla..." aku berusaha menjelaskan, tapi kepanikan ku membuat aku tidak bisa mengucapkan kata apapun sebagai bentuk penjelasan.

Papa Najla yang tanggap, langsung berlari ke dalam kamar Najla.

Berkali-kali pria itu menggedor pintu, namun seperti usaha ku, usaha beliau pun tidak mendapat hasil. Mama Najla menyuruh Bibi mengambil kunci cadangan, namun, belum sempat Bibi mencapai ambang pintu kamar. Papa Najla berhasil memaksa pintu itu terbuka, mendobraknya dengan kursi.

Dan setelah itu, aku melihat pemandangan yang paling mengerikan seumur hidupku.


-----

A/n: Hi, I'm comeback! Belum punya ganti hpnya, tapi tepatin janji kan, tetap update? mudah-mudahan ada yang nungguin deh ya :p Btw kayaknya udah pada nebak ya, pemandangan jenis apa yang Thalia lihat :(

Oke, hari selasa kita ketemu Dhanu ya!

Doain biar cepet dapet hp dong, nggak bisa nulis di laptop entah kenapa :' huhu


Lost of Love,


Naya mwa

CrushWhere stories live. Discover now