17. Bintang dan Matahari

29.1K 2.7K 70
                                    

Thalia.

Sekarang sudah jam dua belas malam, waktu puncak pas. Diandra, Tante Anya dan Om Yusuf sudah tidur, mungkin sejak satu atau dua jam yang lalu. Jadilah, cuma aku dan Dhanu yang berdiri menghadap kebun teh, di puncak pas tengah malam begini.

"Kerjaan banget sih, Tha, ngapain coba tengah malam gini ke sini, besok kan masih bisa, ini juga, kan gue udah sering bilang, pake jaket yang tebelan," omel Dhanu, sambil memakaikan jaketnya ke tubuhku, melapisi kardigan pink pucat yang aku kenakan.

"Ih, cerewet deh lo ya, nih deh, makan biar lo nggak bawel." Aku mengambil jagung bakar dari tangan bapak penjual, lalu menyodorkannya ke Dhanu. Dhanu menerimanya, tetap dengan wajah cemberut.

Walaupun sudah lewat tengah malam, puncak layaknya Jakarta yang enggan untuk tidur, di bawah sana, ratusan mobil berlalu lalang, lampu-lampunya yang menyorot jalan, dari tempatku terlihat berupa titik-titik terang seperti bintang di langit. Seperti pantulan dari langit di atasnya.

"Ini dia nih, Nu, yang bikin gue mau ke sininya sekarang," ujarku sambil menarik lengan baju Dhanu.

"Lo udah ngeliat ini berapa kali sih, Tha? Masih aja maksa gue ke sini tengah malam." Dhanu mendorong kepalaku dengan jari telunjuknya, membuatku mencibir.

"Nggak romantis banget sih, Nu, ini tuh kayak gue ngeliat Fadli, Nu, jutaan kali gue lihat pun, rasanya tetap sama, tetap seperti pertama kali gue ngeliat dia." Dhanu melirik ku sekilas, sebelum menatap lampu-lampu di bawah sana lagi.

"Kayak ngeliat Fadli ya, Tha? Sesuka itu sama Fadli?" tanyanya retoris, aku mengangguk lalu tersenyum, membayangkan kalau saja Fadli yang ada di sampingku malam ini.

"Sesuka itu, Nu." Untuk beberapa waktu, hening menyelimuti kami, aku dan Dhanu sibuk dengan pikiran masing-masing, tenggelam dalam pemandangan di bawah sana, dan dinginnya puncak malam ini.

Sebenarnya, suasana ini benar-benar romantis, seandainya saja ya, seandainya Fadli yang di sampingku bukan si Dhanu ini.

Aku menepuk pundak Dhanu, membuat lamunannya buyar seketika.

"Nu, foto yuk! Kirim ke Najla, biar dia envy!" Aku menarik lengan Dhanu, lalu mengambil beberapa foto selfie.

"Gue rasa, kalau pun lo foto sama Calvin Harris di sini, si Najla nggak akan envy, Tha."

"Oh, iya ya, apa lagi cuma sama elo, Dhanu yang serba rata-rata." Mendengar kalimat ku, Dhanu menoyor lagi kepalaku, kurang ajar memang, tapi aku memilih untuk mengabaikannya, dan mnngetikan beberapa kalimat untuk Najla.

Thalia Maharani sent a picture.

Thalia Maharani: Liat deh, bagus banget ih! Gak nyesel kan lo ga jadi ikut? Bonyoknya udah tidur, jadi sekarang kita cm berdua deh, coba ada Fadli, ga sama si jomblo satu ini deh gue.

Dhanu menatap wajahku datar, yang otomatis membuatku bertanya.

"Apa?" alih-alih menjawab pertanyaan ku, dia malah mendengus.

"Kalo nggak mau jalan sama gue, gue telfon si Fadli ya, nyuruh dia ke sini, lo tungguin deh tuh sampe lumutan, gue balik ke Villa." Mendengar kalimat Dhanu, aku langsung menggebuk lengannya.

"Ih, Dhanu! Apaan deh, baper banget." Aku berdecak sementara Dhanu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sampai kapan sih, Tha, mau jatuh cinta sama Fadli? Dia bahkan nggak sadar kalau lo ada di sekitar dia." Kalimat Dhanu memang benar, tapi entah kenapa aku tidak merasa sakit hati, sepenuhnya aku sadar, aku memang tidak kasat mata bagi Fadli.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang