19. Kemungkinan Yang Paling Mungkin

29.7K 2.6K 58
                                    

Najla.

Makan malam keluargaku dengan Dhanu dan Thalia sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Tapi, saat ini Dhanu sudah ada di depanku lagi, setelah mengantar Thalia pulang barusan.

Seperti biasa, kami duduk di balkon. Aku sih nggak perlu tanya kenapa dia balik lagi, dari mukanya siapapun tau, kalau dia lagi nyari silet buat bunuh diri.

"Jadi?" tanyaku singkat. Ini hanya pertanyaan normal, tapi melihat gesture ku dengan tangan bersedekap depan dada dan kaki yang menyilang, Dhanu pasti sadar kami sedang dalam mode interogasi.

"Gue nyatain perasaan gue ke Thalia kemarin malam."

"Hah? Terus?" refleks aku memajukan wajahku. Aku nggak bohong kalau aku bilang, aku kanget, siapa sih yang nggak kaget kalo akhirnya wejangan ku itu bisa masuk ke dalam otaknya Dhanu yang mungkin cuma setengah sendok teh.

"Ah, elah, biasa aja apa responnya!" Dhanu mendorong wajahku dengan telapak tangannya. Normalnya, aku akan langsung mendorongnya dari balkon ini, tapi dalam kasus ini, aku perlu dengar ceritanya sebelum dia menghadap Sang Pencipta.

"Ih, gila! Bohong lu ya, nyet, lu kan cupu abis, mana berani anjir!" Dhanu menatap ku gemas.

"Tai, teman banget lu ya," ujarnya ketus. Aku memilih mengabaikan protesnya, lalu menatapnya intens, menuntut kelanjutan ceritanya.

Untuk sesaat, Dhanu menatap headphonenya, lalu menatapku ragu, sebelum akhirnya ia memasangkan headphone itu ke telingaku.

"It's so hard, to tell you, since we met, you've never left, you weren't just a star to me, you were my whole damn sky, I love you, Tha."

Dalam beberapa detik ku terpaku mendengar kalimat Dhanu, sekarang aku mulai percaya kalau Dhanu memang punya kemampuan untuk membuat perempuan meleleh. Tapi itu hanya beberapa detik, beberapa detik sebelum Dhanu menghela napas panjang, dan aku tersadar.

"Lo nggak sepengecut itu sampai nembak Thalia pake headphone kan, Nu?"

"Yes, i'm, gue sepengecut itu, Jla."

"Tolol!" aku menatap Dhanu ganas, sambil memikirkan kata-kata lain yang lebih kejam untuk menghujaminya.

Jangan salahkan aku, demi seluruh cowok ganteng yang aku dan Thalia puja-puja, kenapa temanku sedungu ini? Aku menarik kembali kata-kata ku tentang Dhanu yang 'bisa membuat meleleh perempuan' itu.

"Nggak usah lo omongin, gue tau, gue tolol, tapi masalahnya sekarang bukan itu, Jla." Dhanu bergerak gelisah di kursinya, membuat aku memicingkan mata, curiga kalau ada ketololan lain yang dia lakukan.

"Apalagi? Lo nggak pura-pura april mop setelah ditolak Thalia kan? April masih lama, soalnya."

Dhanu menyempatkan diri mendengus sesaat, sebelum kembali ke dalam topik pembicaraan.

"Tadi, lo denger nggak, gue ngomong apa?"

"Menurut lo, kalo headphone ga disambung kemana pun, kedengeran nggak suara dari luar?" aku membalas pertanyaannya sakars.

Dhanu mengacungkan ponselnya yang ternyata tersambung ke headphone.

"Volume maksimal, persis malam kemarin." Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali, seolah tersadar sesuatu.

"Maksudnya..."

"Headphonenya rusak." Dhanu melanjutkan kalimatku, rautnya nya antara pias dan frustrasi.

"Jadi, Thalia sadar kalo lo sepengecut ini?" Dhanu mendengus kasar, lalu menyentil dahi ku.

"Bisa nggak Najla, sakarsnya di kurangin sedikit aja? Gue serius ini, masalahnya gue nggak tau sejak kapan barang sialan itu rusak."

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang