22. Terbenamnya Matahari

27.7K 2.6K 93
                                    

Dhanu.

Setelah menempuh lebih dari tiga jam perjalanan, kami akhirnya sampai ke tempat tujuan. Di samping gue Nada sudah tertidur, mungkin sejak dua jam yang lalu.

"Nad, bangun." Gue menepuk pelan pipinya, namun Nada masih tidak bergerak. Seperti tersadar sesuatu, gue tatap lekat-lekat Nada yang sedang terlelap sebegitu pulasnya.

Nada selalu ada, nyaris di setiap saat gue membutuhkannya. Nada selalu ada, bahkan tanpa gue minta untuk tinggal. Nada selalu ada, tanpa perlu gue capek-capek mengejar dan pada akhirnya kelelahan.

Bahkan Nada ada, di saat gue berlari mengejar Thalia, dia menemani gue berlari, dan tetap tinggal di sisi gue ketika gue memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Tanpa sadar, tangan gue bergerak mengelus pipinya.

Seandainya, yang gue cintai sebegininya, elo Nad, bukan Thalia.

Tiba-tiba Nada menggeliat, membuat gue refleks melepaskan tangan. Setelah terbangun, Nada mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum akhirnya sadar sepenuhnya.

"Kita udah sampe?"

"Iya, putri tidur." Mendengar ejekan gue, Nada mencibir, kemudian ia melempar pandangannya ke sekeliling, dalam sedetik kemudian matanya membulat sempurna.

"Ini kan... pantai?" Nada menatap gue tidak percaya, matanya berbinar senang.

"Iya, mau turun nggak? Kalo nggak mau, gue aja yang turun nih," ujar gue sambil membuka seatbelt, diluar dugaan gue, Nada bereaksi lebih cepat, dia membuka seatbelt.

"Ah, gila lo kak! Udah nyulik gue sejauh ini, malah mau ninggalin." Sebelum gue sempat membalas perkataannya, cewek itu sudah lebih dulu membuka pintu lalu melompat keluar mobil dan berlari menuju bibir pantai.

Gue tersenyum melihat Nada yang membiarkan ombak membasahi ujung roknya, sesekali dia menunduk, ikut menenggelamkan jari tangannya di ombak.

"Kita dimana sih? Gue baru tau ada pantai deket Jakarta selain Ancol," ujarnya sambil menenggelamkan sebelah telapak kakinya ke pasir.

"Main lo ke Ancol doang, sih, ini Banten bodoh." Gue menyentil dahinya, lalu berjalan menuju sisi pantai lainnya, meninggalkan Nada yang masih sibuk mengeluarkan kakinya dari pasir.

I need my own bubble. Gue butuh waktu sebentar untuk menjernihkan otak gue saat ini.

Gue tau, ini brengsek, mengajak Nada jauh-jauh ke sini hanya untuk... meratapi Thalia? Gue bahkan nggak tau apa kata yang lebih tepat--atau lebih banci-- yang dapat gue gunakan untuk mendeskripsikan tujuan gue ke sini.

Sebentar lagi, Nad, cuma sebentar lagi gue membutuhkan lo untuk melenyapkan semua sesak.

Gue nggak mengatakannya, Nada gadis yang cerdas untuk paham, bahwa satu-satunya yang gue butuhkan saat ini adalah mengurung diri di batas langit.

Gue duduk menghadap laut, di sana, di garis ujung cakrawala, matahari sedang bergerak turun, hanya tinggal setengah jam lagi sampai matahari pulang ke peraduannya. Dan setengah jam itu, akan gue gunakan untuk menghapus Thalia.

Tidak dari ingatan, tidak dari hati, tapi mungkin dari skema kebahagiaan gue. Gue sedang berusaha mematikan hati gue, untuk apa-apa yang nyaris mustahil gue miliki, untuk tiga tahun pengharapan yang sia-sia.

Almost three years, Tha.

Nyaris tiga tahun, sejak perkenalan pertama kita di lapangan pagi itu. Nyaris tiga tahun, sejak pertama kali lo mengucapkan nama gue. Nyaris tiga tahun sejak gue tau, lo adalah satu-satunya perempuan yang gue inginkan.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang