34

1.3K 200 1
                                    

34

[LEX]

30 AGUSTUS 2089, Rumah Sakit tentara di J'Neia, Charleston.

Sama seperti waktu itu, terbangun di rumah sakit setelah banyak hari ia lewatkan. Tapi setidaknya, kali ini dia tidak bangun sendirian. Seorang gadis berambut merah menyandarkan kepalanya pada sisi kasur sehingga ia tidur dengan posisi bungkuk dan betapa Lex bisa bayangkan ia menunggu dengan sabar.

Masih hidup saja, pikir Lex. Manusia apa dia? Manusia abadi?

"Jean," panggilnya lembut, mengelus kepalanya pelan. "Bangun. Tidak baik tidur dengan posisi begitu."

Jean bergerak kecil. Kepalanya mulai terangkat dan menunjukkan wajahnya yang sangat kusut, meski begitu ia masih terlihat cantik seperti biasanya. Matanya masih tertutup dan dahinya berkerut, perlahan menatap Lex yang memberinya senyum.

"Um ... pagi? Atau, jam berapa ini?" tanya Lex.

Jean mengecek ponselnya dan memberengut. "Dua pagi. Secara teknis memang pagi tapi ini masih jam tidur, dasar bodoh."

Lex terkekeh ringan, ia merasa ada aura menyegarkan yang menyambutnya bangun sekarang. Seperti ... akhir misi yang bahagia?

"Bagaimana dengan ... keadaan semuanya?" tanya Lex.

"Kamu banyak ketinggalan berita," Jean mengusap matanya malas. "Sudah baik sekarang. Hanya tinggal pembasmian zombi-zombi dan mutan yang bersembunyi. Ah, sayang sekali. Padahal mereka adalah teman yang baik."

Lex memerhatikannya sementara untuk mendengar informasi selengkapnya.

"Efektifnya mereka dibakar," kata Jean. "Awalnya aku tidak setuju karena itu sangat tidak manusiawi. Tapi pembakaran memang lebih cepat prosesnya, tidak buang-buang sampah peluru juga. Jadi ya ... mau bagaimana lagi."

Lex tahu itu, dia tidak bisa protes apa-apa. Kadang tidak semuanya bisa diselesaikan dengan kelembutan. Mengingat misi mengerikan berhari-hari lalu, semuanya jadi jelas bukan? Sudah berapa nyawa yang ia bunuh—termasuk zombi—karena mereka adalah penghalang menuju kebaikan? Mereka memberontak, berbeda jalur, dan jika mengganggu maka harus dihabisi. Tentara lagi pula, Lex tidak punya rasa empati begitu besar lagi selama itu berakhir demi kebaikan.

Tanpa disadari, ternyata Jean menatapnya tanpa ekspresi. "Selamat datang kembali."

Lex hanya dapat tersenyum kecil, ia menikmati irama jantungnya yang dipercepat karena wanita yang ia cintai ada di hadapannya di sini, berdua saja, menyambutnya datang kembali. "Makasih."

Peralahan keduanya mendekatkan kepala dan kening serta hidung mereka bertemu. Lex menjalin tangannya dengan milik Jean dengan lembut, merasakan kehangatan kasih sayang yang tanpa disampaikan pun sudah dipahami. Ia begitu bahagia saat ini. Sangat bahagia ....

"Jean, kaulihat sendiri. Aku bukanlah orang yang kuat lagi," katanya getir. "Tapi ... aku ingin mendapatkan kesempatan itu."

"Kesempatan apa?" balas Jean lembut.

"Aku ingin kita bersama selamanya sampai mati."

Jean terkekeh kecil, tapi ada sesuatu yang terdengar menyayat hati begitu menyelaminya. Ada sesuatu yang sangat berat ia sembunyikan, sayangnya Lex belum tahu apakah itu.

"Kau akan menyesal ...," bisiknya.

"Kenapa?"

"Kau akan tahu sendiri. Tapi apa benar kau yakin tidak salah orang?"

Lex mengeratkan jalinan tangannya, menyiratkan keteguhan perasaannya pada Jean. "Tidak. Meski harus kehilangan pun ... tak apa. Aku mengerti."

"Waktu kita hanya sebentar ...."

"Dan aku akan memanfaatkannya sebelum terlambat."

Lex mengganti posisi mereka, ia mencium lembut bibir Jean. Ternyata, perempuan itu tak menolak. Malah, air mata bergulir dari matanya, bersatu dengan wajah Lex dan menyetrumnya seperti penyaluran kesedihan mendalam. Sepertinya, Lex tahu apa yang dimaksud Jean, ia pernah tanya tapi ia tak mendapatkan jawaban konkretnya.

Berapa lama ... kau akan bertahan?

Aku ini, dari lahir sudah menjadi zombi.

Age of Undead 89 [2015]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang