29

1.5K 204 35
                                    

29

[STACY]

STACY MEMANDANG NGERI pada mutan profesor itu, ia bahkan sampai meringis. Dia tak bisa menurunkan moncong pistolnya sampai sekarang.

Greg di sisi lain menyeru, "Hei, apa ini terlihat seperti pintu?"

Lex bergerak mendekat, diikuti Jean, dan terakhir Stacy sendiri yang akhirnya bisa menurunkan senjatanya. Di kaca, tertempel ceruk pemindai kartu seperti pintu sebelumnya. Mereka berempat bertukar pandang.

"Biar aku yang masuk," kata Jean.

"Tidak." Lex segera menghalanginya dengan lengan. "Aku sudah cukup terkejut dengan tindakanmu mengendalikan zombie. Aku tahu lukamu bisa sembuh, tapi biarkan aku yang mendapat kesempatan sekarang."

Stacy terkesiap kaget. "Apa maksudmu Lex?!"

"Kau ingat, kan? Aku punya kekebalan sekarang," tukasnya. "Aku akan baik-baik saja. Setidaknya jika dia tidak merobek tubuhku dan menceraiberaikannya."

"Ya, dan aku khawatir itu akan terjadi," gumam Jean.

Stacy jelas tidak bisa menrima ini. Dia yang memegang kartunya, dan Lex menagihnya dengan tatapan dingin. Perlakuannya seperti saat dulu Lex sewaktu kecil meminta kuenya yang dicuri Stacy diserahkan kembali. Biasanya, ketika dia melihat tatapan dingin kakaknya—yang sungguh-sungguh marah—tak lama dia akan menangis hebat. Namun tentu, dia sudah bisa menahan diri sekarang. Mereka sudah beranjak dewasa. Kendatipun kini permasalahan lebih serius, Stacy tak akan membiarkan Lex pergi lagi dari hadapannya.

"Stacy." Lex memicingkan matanya.

"Lex," sebutnya, "kau tidak tahu betapa aku sangat kehilangan saat kukira kau benar-benar akan mati."

Lex tak membalas apa-apa.

"Kau tega membiarkanku mengalami hal yang sama?"

Lex sempat berpaling, rahangnya mengeras. "Berikan saja kartunya. Aku janji kali ini aku akan bertahan."

Stacy menggeleng keras.

Mengejutkannya, tiba-tiba saja Lex menyambar lengannya dengan kasar. Stacy kontan menjerit tentunya, Greg membentak Lex, dan Jean siap bertindak apapun tetapi Lex dengan gesit berhasil merebut kartu dari Stacy. Stacy tidak suka menjadi terlalu sensitif, tapi tiba-tiba saja seperti hantaman keras menimpuk dadanya, dia merasa sesak. Kenapa Lex tidak paham? Kenapa Lex tidak tahu dia berusaha melindunginya? Dia tak mau merasakan pahit yang sama lagi .... Dan tiba-tiba air matanya bergulir, ia terisak.

"Stacy ...?" Greg menariknya pelan ke dalam dekapannya.

Stacy membiarkan dirinya menangis di bahu Greg. "Aku ... benar-benar payah," keluhnya.

"Lex ...," Greg memanggilnya dalam-dalam. "Aku tidak akan mencegatmu pergi, tapi tolong, pastikan kau benar-benar kembali."

"A-aku tahu," suara Lex terdengar sangat menyesal.

"Dan minta maaf dulu pada adikmu."

"Stacy—"

"Pergilah," sanggah Stacy. "Pergilah. Maaf. Aku tahu aku juga yang salah. Kita tidak boleh menunda waktu." Sesudah itu dia menyembunyikan wajahnya di bahu Greg, bersyukur dia mempunyai cowok baik hati yang mau menenangkannya.

Stacy tidak melihat bagaimana reaksi Lex. Yang jelas, setelah selang berdetik-detik, decitan menarik perhatiannya untuk menoleh. Itu adalah pintu kaca yang terayun sendirinya ke arah dalam padahal tak ada engsel setelah pemindai kartu disentuhkan oleh kartu. Lex melangkah masuk, dan pintu menutup sendiri.

Di tempat lainnya profesor itu mengamati Lex dengan kepala miring berkedut-kedut, meringis dengan cara yang aneh. Lex tampak tak terlihat ragu di tempatnya, dia melangkah maju.

Stacy perlahan melepas pelukan Greg, mengamatinya hati-hati, berharap mereka akan membuahkan hasil.[]

Age of Undead 89 [2015]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang