Part 12 - May in Pain

899 37 0
                                    

June datang ke rumah sakit tempat Jayden di rawat. Ia sudah sepenuhnya memaafkan kekasihnya itu.

June memasuki kamar 203 dan terbaringlah disana, pria tertampan yang pernah ia temui, Jayden, sedang terbaring di tempat tidur. June perlahan mendekati ranjang Jayden dan duduk di sampingnya. Memandang wajah tampannya memang tidak membuat gadis itu bosan.

"June?" panggil Jayden. June langsung tersadar dari lamunannya. "Jayden," kata June pelan penuh kerinduan. "Aku kangen kamu," kata Jayden. "Aku juga, sayang," kata June sambil mencium pipi Jayden lembut. "Aku mau tanya sesuatu dong," kata Jayden tiba-tiba. "Kamu sebenarnya sayang gak sih sama aku? Walaupun keadaanku kayak gini?" lanjutnya.

Tanpa basa basi, June langsung menjawab. "Iyalah sayang. Kamu itu laki-laki paling special dalam hidup aku," kata June sambil mengelus tangan kekasihnya itu. "Kamu kapan sembuh?" tanya June. Tersirat kesedihan di dalam kata-katanya. June kangen Jade yang dulu, yang selalu ceria, bukan terpuruk seperti ini.

"Awal Juni aku ambil jalur operasi tulang sum sum. Katanya namaku udah jadi daftar nama ke 10 dalam urutan peminta donor tulang sum sum," jelasnya. "Cepat sembuh ya. Aku kangen kamu yang ceria kayak dulu," kata June sambil mengecup punggung tangan Jayen. "Aku juga. Kamu pulan sekarang ya. Besok kan harus latihan buat nutcracker. Kamu istirahat yang cukup," kata Jayden. "Tapi kamu janji datang ya!" kata June sambil memberikan kelingkingnya. "Janji"

'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''

Jayden POV

Keadaanku sudah membaik sekarang. Aku mencari-cari hadiah yang cocok atas kelulusan June di Juilliard. Aku menelaah salah satu online shop khusus balet dengan laptopku. Dari baju, hingga sepatu.

"Uhhukk uhuukk!" aku langsung menutupi mulutku dengan tanganku. Bau besi langsung memancar dari tanganku, darah. Ini sudah ke 10 kalinya aku batuk mengeluarkan darah, padahal baru siang hari. Leukimiaku semakin ganas nampaknya.

Aku mencari teleponku, lalu mengetik sebuah nomor yang tertera di online shop tersebut.

"Halo, dengan sweetie shop ada yang bisa di bantu?" tanya orang dari seberang sana.

"Saya ingin membeli dance wrap skirt berwarna biru langit," kataku sambil sibuk mencari-cari. "Dan pointe shoes berwarna hitam dengan sol berwarna merah," sambungku.

"Baik pak. Mau di antar kemana?" tanyanya lalu aku menyebutkan alamat rumah sakitku. "Akan kami antar pak, paling lama dalam waktu 7 hari sudah sampai. Terima kasih," katanya. "Terima kasih kembali," jawabku. Pasti June akan suka.

**

"Bagaimana?" tanyaku. June masih memandang ke wrap skirtnya yang aku taruh di kotak berwarna hitam legam. "Indah," jawabnya. "Kenapa kau tidak mencobanya?" tanyaku berhubung ia masih mengenakan pakaian baletnya. June segera melepas sepatunya dan memakai wrap skirt itu. Aku sengaja menyimpan sepatu balet barunya itu untuk hadiah ulang tahunnya.

"Perfect," katanya. "Bagus untuk belajar di sana," sambungnya. "Kalau kau tidak pakai itu atau kau buang, aku tidak akan segan membawamu ketempat yang kau benci," kataku. June sangat benci dengan kebun binatang, jadi aku suka menggodanya. "Aku akan pakai! Terima kasih ya!" katanya sambil mengecup bibirku kilat. "Sama-sama, uhhukk uhuuk uhuuk!" aku tiba-tiba terbatuk.

"Kau tidak apa-apa?" tanya June panik. "Toilet," kataku. June segera membopong Jayden menuju toilet yang cukup dekat. Aku langsung duduk di samping kloset dan memuntahkan semua makan siangku. Efek samping dari obat yang ku minum, membuatku mual setengah mati.

June menepuk-nepuk punggungku pelan dan memijit tengkukku. "Nih minum," katanya sambil menyodorkan air putih ke arahku. Aku meminumnya lalu ia membawaku kembali ke tempat tidur.

"Bagaimana latihannya tadi?" tanyaku. "Mengesankan. Tidak sulit mengatur orang-orang yang tergolong profesional," katanya. "Beberapa penari hip hop sangat mengesankan dengan flip mereka, penari tap tidak segan-segan menunjukkan keahlian tap mereka, bahkan penari salsa pun ikut-ikutan," katanya lagi. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya.

"Siapa yang akan menjadi 'nutcrackermu' di sana?" tanyaku. "Dennis. Aku sengaja mengundangnya karena cerita ini lebih ke balet," katanya. Hatiku sedikit perih. Cemburu tepatnya. Tapi aku tahu Dennis sahabatku. Ia tidak mungkin melukai hati June, bukan?

"Aku senang mendengarnya. Konsernya tanggal 17, bukan?" tanyaku memastikan. June mengangguk pelan. "Kau harus datang. Aku akan menampilkan tarian tambahan, khusus untukmu," katanya. "Aku janji," jawabku.

"Harus ada jaminan," katanya. Matanya memandang manik mataku. "Apa?" tanyaku bingung. "Ini," katanya sambil mengeluarkan kotak kaleng bekas biskuit. "Masukkan barang kesayanganmu di sini, di kotak ini. Apapun itu," katanya sambil membuka tutup kaleng. Satu-satunya barang yang aku punya sekarang hanyalah gelang rajutanku.

Gelang yang tidak pernah kulepas kecuali mandi. Gelang yang selalu melingkar di tanganku. Gelang yang sudah menjadi separuh dari hidupku. Gelang yang menjadi jimat keberuntunganku. Aku melepas gelang berwarna biru dan hitam itu, lalu menaruhnya di kaleng itu. June menutupnya dan memasukannya ke dalam tas. "Kalau kau tidak datang, gelang itu resmi jadi milikku," katanya. Aku hanya bisa tertawa mendengar ancaman yang tidak serius itu.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Dennis datang. "Hai bro!" katanya lalu berdiri di samping June. "Apa hal yang PENTING BANGET sampai lo sms gw?" tanyanya. "June, bolehkan aku ngomong berdua doang sama dia? Ada hal penting yang mau aku omongin," kataku. June mengangguk lalu keluar ruangan.

"Gue punya permintaan terakhir buat lo," kataku. "Gue mau..."

Pintu kamar sekali lagi dibuka dengan tiba-tiba. "Maaf, aku cuman mau bilang ke Jade. Aku harus pulang sekarang. Mamaku menelepon. Bye! I love you," katanya lalu menutup pintu lagi.

"Gue mau lo buat jadi..................."

**

"WHAT?!" Dennis berteriak saat aku mengucapkan permohonanku yang terakhir. "Yang pertama gue setuju, bro. Tapi yang kedua? Gue gak yakin," katanya. "Please, Den. Gue gak mau lihat dia sedih mulu. Dari matanya terpancar sesuatu yang gue gak pernah liat dari dulu. Kebahagiaan dia kayak balik waktu dia ketemu lo," kataku menerangkan.

"Tapi dia tunangan lo. Gue merasa ini gak adil buat lo," katanya. "Gak apa-apa. Gue rela," jawabku walau aku sedikit berdalih. "Dia butuh penopang hidup nanti. Gue gak bisa percaya sama orang lain," kataku. Dennis menghela nafasnya. "Okay," kata Dennis akhirnya. "Finally. Thank you my brother. You're my best bro ever," kataku sambil memeluknya.

Cinta itu memang sakit. Tapi kita gak bakal pernah tau akhirnya kayak gimana.

___________________________________________________________

Keburu bingung. Tapi janji, dua chapter terakhir bakal jadi yang paling seru *amin*.. ahahhaa ! CIAO!

Months of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang